Oleh:
Lilih Putri Pratiwi
“Masih ingatkah kau dulu sewaktu kita masih
duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kau selalu saja minta dibelikan
permen.” Rama mencoba mengingatkan kembali.
“Ingatanmu terlalu bagus dan kuat. Gigiku
selalu sakit setiap malam karena terlalu banyak makan permen. Hehehe.” Maura
selalu saja tertawa setiap mengingat masa kecilnya.
Tiada yang
lebih membuat Rama kembali bahagia saat ini. Panti asuhan yang telah
membesarkannya bersama Maura. Dan di panti asuhanlah ia menciptakan segala
perasaan khusus untuk Maura. Rama tak lagi seperti yang dahulu, ketika ia resmi
diangkat menjadi seorang anak dari sebuah keluarga yang kaya. Rama kini sudah
menjadi dokter, seperti cita-citanya dahulu.
“Kenapa kau memutuskan untuk tetap di panti
ini, Maura?” Rama mencoba membuka pembicaraan lain.
“Ada banyak hal, perpisahan itu
menyakitkan. Aku sudah menganggap panti ini adalah keluargaku.”
“Maafkan, aku telah meninggalkanmu disini,
Maura.”
Maura tertunduk,
waktu cepat sekali berlalu. Rama dan Maura yang dulu masih sangat mungil dan
lucu kini sudah beranjak dewasa. Maura tak tahu pertemuannya dengan Rama,
membuat jantungnya berdenyut lebih cepat dari biasanya. Ini seperti pertemuan
yang sudah direncanakan oleh Tuhan untuk mereka. Ini seperti sebuah takdir
untuk mereka.
“Sudah lama sekali aku merindukanmu, Rama.
Aku sedih setiap kali mengingatmu tak ada lagi di Panti.”
“Maaf, kalau kau terlalu lama menungguku.
Semenjak lulus SMA dulu, aku selalu berharap ada orangtua yang mau
mengadopsiku. Dan sekolahkan aku hingga tinggi dan cita-citaku tercapai. Apa kau
tahu, itu semua demi Maura, agar kau mendapatkan suami yang mampu membuatmu
bahagia.”
Maura memeluk
Rama erat sekali, ada rindu yang tak mampu ia katakan melebihi kata rindu
sekalipun. Kini Rama telah mencapai cita-cita yang didambakannya. Rama hanya
ingin membahagiakan Maura kini. Rama ingin menjadikan Maura pasangan hidup yang
selalu menemaninya.
“Aku sudah bahagia saat ini, Rama. Karena
pertemuan ini.”
Rama
mengambil sesuatu di dalam tasnya sambil tersenyum. Sebuah lolypop berbentuk
hati. Rama segera menyodorkan lolypop itu.
“Lolypop ini tanda hatiku untukmu, maukah
kau terima lolypop ini beserta hatiku Maura?”
Maura segera mengambil lolypop yang
ditawarkan oleh Rama.
“Tentu saja aku terima hatimu, karena hatiku
pun sudah kau miliki.”
Malam yang
begitu dingin membuat keduanya terbawa susana romantis. Pertemuan yang begitu
manis layaknya sebuah rasa lolypop. Penantian Maura untuk Rama telah berbuah
manis. Dan tanpa tersadar mereka telah memautkan bibir mereka, kecupan demi
kecupan hingga lumatan pun terjadi diantara mereka. Hanya beberapa detik saja,
dan Rama segera mengakhirinya. Mereka pun saling bertatapan dengan senyuman
menghiasi wajah mereka, betapa kebahagiaan itu telah mereka rasakan.
-SELESAI-
0 comments:
Post a Comment