20 December 2014

Suamimu Itu Kekasihku Part 3



“Jangan nekat kamu, Danu!” kata Mama dengan nada tinggi, sambil menoleh ke arah Intan yang masih terisak menangis, aku sedikit pun tak gentar untuk memperjuangkan apa yang seharusnya aku perjuangkan.

“Kali ini saja, Ma. Mama harus merelakan keputusan Danu.” Kataku dengan mata berkaca-kaca. Rendra hanya menatap Mama dengan wajah kuyu berharap restu darinya.

“Mama nggak akan rela kamu berhubungan dengan Rendra.”

“Tapi, Ma....” aku segera berjalan keluar bersama Rendra, tentu saja. Sudah waktunya aku membiarkan hati dan keegoisan dalam diri menguasai pikiranku. Entah apa yang terjadi dengan Mama. Aku hanya ingin mama tahu, cintaku terhadap Rendra terlalu dalam. Takkan mampu dipisahkan dalam ikatan pernikahan dengan seorang wanita.

Aku dan Rendra segera menuju kontrakan dengan wajah kuyu dan lesu. Tak ada suara apapun yang mampu dikatakan lagi. Apalagi aku yang semakin galau dan merasa menjadi anak durhaka kepada mama. Dan merasa bersalah kepada Intan yang terluka karena sikapku. Maaf andai saja aku jujur dari awal mengenai kondisiku.

Rendra menyerahkan sebuah batang rokok milikku yang tadi siang dia sita dariku beserta koreknya. Aku segera menyalakan rokok dan menghisapnya. Rendra tampaknya juga sedang kalut sehingga akhirnya dia pun ikut menghisap rokok dengan secara paksa padahal dia sebelumnya dia tidak pernah merokok.

“Uhukkk,,,uhukkk.” Rendra terbatuk saat pertama kali menghisap rokok kretek milikku.

“Hei, nggak usahlah kamu ikut merokok.” Kataku sambil menghisap rokok dengan rileks.

“Aku pikir merokok tidak perlu latihan. Sial!” Umpat Rendra sambil dia buang batang rokok yang tak jadi dihisapnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah kekasihku ini. Badannya yang besar, tinggi dan macho sejak dahulu memang tidak pernah menjamah barang tembakau ini. Aneh memang, dia terlalu kalem untuk tipe sebagai laki-laki.

“Maafkan, aku Rendra.” Kataku saat aku merasa kata-kata ini adalah kata-kata yang tepat untuk malam ini. Rendra menoleh ke arahku sambil mengernyitkan dahi. Bingung.

“Untuk apa kamu minta maaf. Justru aku yang minta maaf telah membawamu ke kehidupan ini. Kehidupan yang tak semua orang mampu memahami.” Rendra mencoba tegar di hadapanku padahal aku tahu dia tak sekuat yang terlihat. Dia selalu pandai menyembunyikan perasaannya. Sama seperti saat aku mengantar undangan pernikahanku tiga bulan yang lalu.

Rendra hanya tersenyum saat menerima undangan dariku kala itu. Dia sepertinya sanggup aku tinggalkan, dan sanggup melangkah pergi dari hidupku dan mencari penggantiku. Dan aku pikir, dia akan segera melupakan aku cepat atau lambat.

“Oke, deh. Aku bakal datang ke nikahanmu sama Intan.” Kata Rendra dengan wajah berseri, dan justru aku yang tak sanggup menyembunyikan kesedihanku saat aku akan meninggalkannya. Aku memeluk Rendra sebentar dan lalu meninggalkannya tanpa pernah lagi menoleh ke belakang.

Hari dimana aku mengucapkan ijab sah dengan Intan, dia tak benar-benar datang. Dia justru pergi ke Jakarta. Dan perpisahan itu hanya sementara, dia kembali menemuiku. Dan kondisinya sudah berbeda, aku sudah mempunyai seorang istri yang mencintaiku. Tapi aku harus meninggalkannya demi orang yang aku sayangi sejak SMA yaitu Rendra.

Tiba-tiba Rendra merebahkan kepalanya di bahuku. Dia menerawang langit malam ini yang dipenuhi dengan bintang-bintang. Ada sirat kelelahan dari wajahnya. Aku tahu keadaan ini tak mudah untuknya. Tapi aku akan tetap memperjuangkan Rendra.

Suara deru motor besar berhenti tepat di depan kontrakan. Ada empat laki-laki besar dan terlihat buas menyambangi kontrakan. Rendra segera tergugah melihat kedatangan laki-laki berjumlah empat orang. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka langsung berusaha meringkusku. Tapi aku memberontak, dan terjadilah baku hantam antara aku dan keempat laki-laki itu dibantu pula dengan Rendra.

“Brengsek, apa mau kalian?” tanyaku sambil terus memukul-mukul laki-laki itu. Tapi tak ada jawaban, sampai akhirnya aku terkena hantaman keras di tengkuk leher membuatku seakan melayang dan ambruk seketika. Tapi aku berusaha bangkit dan menghajar kembali orang-orang itu. Melihat Rendra di keroyok tanpa ampun, membuatku tambah sakit melihatnya. Dan melihat salah satu dari empat orang itu mencabut sebuah pisau dari balik jaket hitamnya.

“Kau kan yang bernama Rendra?” tanya salah seorang yang membawa sebuah pisau itu. Rendra sudah tak berdaya akibat hantaman bertubi-tubi yang dijejalkan pada perutnya. Dengan posisi kedua tanganku dipegangi oleh kedua orang, sedangkan salah satunya sedang menghajar wajah Rendra tanpa ampun.

Salah satu orang itu tengah bersiap untuk menjejalkan pisau ke arah perut Rendra. Aku bangkit dan berlari berusaha orang itu tidak menusuk Rendra.

Jleeebb......
Aku mulai merasakan sakit, perih yang tak tertahankan lagi. Keempat orang itu pun segera pergi meninggalkan aku dan Rendra. Syukurlah mereka segera pergi sehingga, Rendra tak dihajar lagi oleh mereka. Rendra tersungkur dengan posisi menghadap lantai melihat ke arahku dan berusaha menolongku.

“Dan, sadarlah!” teriak Rendra samar-samar sambil berusaha bangkit, rasanya aku terasa lemas merasakan ada pisau yang tertancap di perutku. Aku melihat Rendra sekali lagi, tak pernah aku melihatnya sesedih ini dengan tatapan yang sendu. Maafkan aku Rendra, seketika semuanya pun menjadi gelap.

***
Aku menyipitkan mataku, saat cahaya lampu begitu silaunya. Aku pun menjadi linglung dan berusaha mengingat apa yang terjadi. Dan melihat sebuah selang infus tertancap pada pergelangan tanganku. Dua orang laki-laki bangkit dari duduknya saat melihat aku sudah sadar.

“Mas Danu udah sadar!” kata Andi dengan sumringah. Dia adikku lebih muda tiga tahun dariku.

“Syukurlah, mas. Aku sama mas Andi udah gelisah banget, udah tiga hari mas nggak bangun.” Yudha adikku bungsu terlihat lega melihatku sudah sadar.

“Mana Rendra?” tanyaku membuat kedua adikku saling bertatapan bingung. Mereka hanya melongo tak tahu harus menjawab apa.

“Saat sakit pun, bisa-bisanya kamu masih menanyakan laki-laki itu!” suara mama yang berat pun muncul. Rupanya sedari tadi pun mama sudah menungguku. Dan bodohnya aku tak menyadari hal itu. Aku berusaha bangkit, karena aku benar-benar tidak tahu tentang keberadaan Rendra.

“Rendra sudah pulang ke Jakarta, nggak usah kamu cari lagi. Menyerahlah, Danu!”

“Kenapa mama begitu jahat kepada kami?” tanyaku dengan sedikit menahan rasa perih di bagian perut sebelah kiri.

“Mama hanya ingin kamu hidup normal dan bahagia.”

“Apa mama pikir, Danu bahagia dengan segala macam cara mama selama ini? nggak, Ma. Danu tersiksa dengan cara mama.”

“Sudahlah, kamu istirahat dulu saja. Besok setelah kamu sudah sehat, kamu harus mengurus masalah perceraianmu dengan Intan.”

Degg...

Akhirnya, aku akan bercerai dengan Intan. Aku sudah tak ingin membebani Intan lagi dengan kondisiku yang tak mampu dia harapkan. Semoga Intan mampu mengerti. Terima kasih Intan.

Tapi kelegaanku hanya sampai di situ saja, karena aku terus saja gelisah memikirkan Rendra, sebenarnya dimana Rendra saat ini. Aku mencemaskan keadaannya, apakah dia baik-baik saja???

-bersambung...


2 comments: