“Jangan
nekat kamu, Danu!” kata Mama dengan nada tinggi, sambil menoleh ke arah Intan
yang masih terisak menangis, aku sedikit pun tak gentar untuk memperjuangkan
apa yang seharusnya aku perjuangkan.
“Kali
ini saja, Ma. Mama harus merelakan keputusan Danu.” Kataku dengan mata
berkaca-kaca. Rendra hanya menatap Mama dengan wajah kuyu berharap restu
darinya.
“Mama
nggak akan rela kamu berhubungan dengan Rendra.”
“Tapi,
Ma....” aku segera berjalan keluar bersama Rendra, tentu saja. Sudah waktunya
aku membiarkan hati dan keegoisan dalam diri menguasai pikiranku. Entah apa
yang terjadi dengan Mama. Aku hanya ingin mama tahu, cintaku terhadap Rendra
terlalu dalam. Takkan mampu dipisahkan dalam ikatan pernikahan dengan seorang
wanita.
Aku dan
Rendra segera menuju kontrakan dengan wajah kuyu dan lesu. Tak ada suara apapun
yang mampu dikatakan lagi. Apalagi aku yang semakin galau dan merasa menjadi
anak durhaka kepada mama. Dan merasa bersalah kepada Intan yang terluka karena
sikapku. Maaf andai saja aku jujur dari awal mengenai kondisiku.
Rendra
menyerahkan sebuah batang rokok milikku yang tadi siang dia sita dariku beserta
koreknya. Aku segera menyalakan rokok dan menghisapnya. Rendra tampaknya juga
sedang kalut sehingga akhirnya dia pun ikut menghisap rokok dengan secara paksa
padahal dia sebelumnya dia tidak pernah merokok.
“Uhukkk,,,uhukkk.”
Rendra terbatuk saat pertama kali menghisap rokok kretek milikku.
“Hei,
nggak usahlah kamu ikut merokok.” Kataku sambil menghisap rokok dengan rileks.
“Aku
pikir merokok tidak perlu latihan. Sial!” Umpat Rendra sambil dia buang batang
rokok yang tak jadi dihisapnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah kekasihku
ini. Badannya yang besar, tinggi dan macho sejak dahulu memang tidak pernah
menjamah barang tembakau ini. Aneh memang, dia terlalu kalem untuk tipe sebagai
laki-laki.
“Maafkan,
aku Rendra.” Kataku saat aku merasa kata-kata ini adalah kata-kata yang tepat
untuk malam ini. Rendra menoleh ke arahku sambil mengernyitkan dahi. Bingung.
“Untuk
apa kamu minta maaf. Justru aku yang minta maaf telah membawamu ke kehidupan
ini. Kehidupan yang tak semua orang mampu memahami.” Rendra mencoba tegar di
hadapanku padahal aku tahu dia tak sekuat yang terlihat. Dia selalu pandai
menyembunyikan perasaannya. Sama seperti saat aku mengantar undangan pernikahanku
tiga bulan yang lalu.
Rendra
hanya tersenyum saat menerima undangan dariku kala itu. Dia sepertinya sanggup
aku tinggalkan, dan sanggup melangkah pergi dari hidupku dan mencari
penggantiku. Dan aku pikir, dia akan segera melupakan aku cepat atau lambat.
“Oke,
deh. Aku bakal datang ke nikahanmu sama Intan.” Kata Rendra dengan wajah
berseri, dan justru aku yang tak sanggup menyembunyikan kesedihanku saat aku
akan meninggalkannya. Aku memeluk Rendra sebentar dan lalu meninggalkannya
tanpa pernah lagi menoleh ke belakang.
Hari
dimana aku mengucapkan ijab sah dengan Intan, dia tak benar-benar datang. Dia
justru pergi ke Jakarta. Dan perpisahan itu hanya sementara, dia kembali
menemuiku. Dan kondisinya sudah berbeda, aku sudah mempunyai seorang istri yang
mencintaiku. Tapi aku harus meninggalkannya demi orang yang aku sayangi sejak
SMA yaitu Rendra.
Tiba-tiba
Rendra merebahkan kepalanya di bahuku. Dia menerawang langit malam ini yang
dipenuhi dengan bintang-bintang. Ada sirat kelelahan dari wajahnya. Aku tahu
keadaan ini tak mudah untuknya. Tapi aku akan tetap memperjuangkan Rendra.
Suara
deru motor besar berhenti tepat di depan kontrakan. Ada empat laki-laki besar
dan terlihat buas menyambangi kontrakan. Rendra segera tergugah melihat
kedatangan laki-laki berjumlah empat orang. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka
langsung berusaha meringkusku. Tapi aku memberontak, dan terjadilah baku hantam
antara aku dan keempat laki-laki itu dibantu pula dengan Rendra.
“Brengsek,
apa mau kalian?” tanyaku sambil terus memukul-mukul laki-laki itu. Tapi tak ada
jawaban, sampai akhirnya aku terkena hantaman keras di tengkuk leher membuatku
seakan melayang dan ambruk seketika. Tapi aku berusaha bangkit dan menghajar
kembali orang-orang itu. Melihat Rendra di keroyok tanpa ampun, membuatku
tambah sakit melihatnya. Dan melihat salah satu dari empat orang itu mencabut
sebuah pisau dari balik jaket hitamnya.
“Kau
kan yang bernama Rendra?” tanya salah seorang yang membawa sebuah pisau itu. Rendra
sudah tak berdaya akibat hantaman bertubi-tubi yang dijejalkan pada perutnya.
Dengan posisi kedua tanganku dipegangi oleh kedua orang, sedangkan salah
satunya sedang menghajar wajah Rendra tanpa ampun.
Salah
satu orang itu tengah bersiap untuk menjejalkan pisau ke arah perut Rendra. Aku
bangkit dan berlari berusaha orang itu tidak menusuk Rendra.
Jleeebb......
Aku
mulai merasakan sakit, perih yang tak tertahankan lagi. Keempat orang itu pun
segera pergi meninggalkan aku dan Rendra. Syukurlah mereka segera pergi
sehingga, Rendra tak dihajar lagi oleh mereka. Rendra tersungkur dengan posisi menghadap lantai melihat ke arahku dan berusaha menolongku.
“Dan,
sadarlah!” teriak Rendra samar-samar sambil berusaha bangkit, rasanya aku
terasa lemas merasakan ada pisau yang tertancap di perutku. Aku melihat Rendra
sekali lagi, tak pernah aku melihatnya sesedih ini dengan tatapan yang sendu.
Maafkan aku Rendra, seketika semuanya pun menjadi gelap.
***
Aku
menyipitkan mataku, saat cahaya lampu begitu silaunya. Aku pun menjadi linglung
dan berusaha mengingat apa yang terjadi. Dan melihat sebuah selang infus
tertancap pada pergelangan tanganku. Dua orang laki-laki bangkit dari duduknya
saat melihat aku sudah sadar.
“Mas
Danu udah sadar!” kata Andi dengan sumringah. Dia adikku lebih muda tiga tahun
dariku.
“Syukurlah,
mas. Aku sama mas Andi udah gelisah banget, udah tiga hari mas nggak bangun.”
Yudha adikku bungsu terlihat lega melihatku sudah sadar.
“Mana
Rendra?” tanyaku membuat kedua adikku saling bertatapan bingung. Mereka hanya
melongo tak tahu harus menjawab apa.
“Saat
sakit pun, bisa-bisanya kamu masih menanyakan laki-laki itu!” suara mama yang
berat pun muncul. Rupanya sedari tadi pun mama sudah menungguku. Dan bodohnya
aku tak menyadari hal itu. Aku berusaha bangkit, karena aku benar-benar tidak
tahu tentang keberadaan Rendra.
“Rendra
sudah pulang ke Jakarta, nggak usah kamu cari lagi. Menyerahlah, Danu!”
“Kenapa
mama begitu jahat kepada kami?” tanyaku dengan sedikit menahan rasa perih di
bagian perut sebelah kiri.
“Mama hanya
ingin kamu hidup normal dan bahagia.”
“Apa
mama pikir, Danu bahagia dengan segala macam cara mama selama ini? nggak, Ma.
Danu tersiksa dengan cara mama.”
“Sudahlah,
kamu istirahat dulu saja. Besok setelah kamu sudah sehat, kamu harus mengurus masalah perceraianmu dengan Intan.”
Degg...
Akhirnya, aku akan
bercerai dengan Intan. Aku sudah tak ingin membebani Intan lagi dengan
kondisiku yang tak mampu dia harapkan. Semoga Intan mampu mengerti. Terima
kasih Intan.
Tapi kelegaanku hanya sampai di situ saja, karena aku terus saja gelisah memikirkan Rendra, sebenarnya dimana Rendra saat ini.
Aku mencemaskan keadaannya, apakah dia baik-baik saja???
-bersambung...
ditunggu sambungannyaaaaa
ReplyDeleteSiap Sist......sedang dalam proses lanjutannya :)
ReplyDelete