Hari
ini aku merasakan begitu kalut dan kacau. Aku merasakan aku telah gagal menjadi
anak yang baik untuk mama, gagal menjadi panutan dari kedua adikku dan tentu
saja gagal menjadi seorang suami yang normal untuk istriku. Aku menanggung
beban itu semua sendirian. Tidak aku tidak sendirian, ada Rendra yang selalu
ada untukku untuk menguatkan hatiku yang rapuh ini. Dialah penyemangatku kali
ini untuk terus tetap bertahan dalam kondisi apapun, sekaligus aku
mempertahankan rasa cintaku pada Rendra.
Aku
terbaring dalam sebuah kasur empuk di sebuah kontrakan yang cukup nyaman ini.
Penyewanya tentu saja Rendra, dia rela meninggalkan kota Jakarta hanya untuk
menemuiku di Jogja. Padahal jelas-jelas dia ingin melupakan aku saat aku sudah
mengucapkan ijab sah pada seorang wanita bernama Intan. Untung saja Rendra tak
melakukan aksi apapun saat aku melangsungkan pernikahan tiga bulan yang lalu.
Rendra hanya ke Jakarta ke rumah Ayahnya, tentu saja untuk sekedar meredam rasa
amarah dan gelisahnya.
Aku
menghisap rokok kretek di atas kasur milik Rendra. Aku mendengar suara pintu
kamar mandi terbuka.
“Enak
saja kau mau maen ngerokok di sini, jangan kau larikan masalahmu dengan rokok
ini!” Rendra segera menyambar rokokku saat aku tengah asik menikmati sentuhan
asap rokok yang legit ini.
“Sekali
saja, Ren.” Pintaku dengan wajah memelas, berharap Rendra mengiba padaku dan
memberikan kembali rokoknya. Sayang, hal itu tidak mungkin terjadi.
“Rokok
akan membuatmu mati secara perlahan-lahan tau!” sahut Rendra dengan sengit.
Lalu meraih beberapa puntung rokok yang aku sembunyikan di balik jaketku
beserta koreknya. Aku pun hanya bisa pasrah.
Terasa
ngilu sekali saat ini, beban masalahku sudah memuncak dan rasanya kepalaku
enggan sekali merasakannya. Masalah yang tak seharusnya besar kini menjadi
membesar. Dan aku bingung sekali bagaimana menghadapinya. Rendra lalu duduk di
sampingku sambil merangkul pundakku. Senang rasanya seseorang yang aku sayang
ada di sini bersamaku menanggung beban bersama.
“Kau
harusnya mandi dulu yang. Biar pikiran fresh dulu baru kita pikirkan masalah
ini bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi seperti dulu.” Rendra
mengucapkan kata-kata yang begitu berarti untukku.
“Nanti
lah Yang, aku pasti mandi.” Sahutku dengan wajah pilu mengingat insiden kemarin
membuatku benar-benar kacau.
***
“Mama
benar-benar menamparku.” Kataku sambil mengelus pipi sembari aku melemparkan
handuk ke arah sofa dengan beringas.
“Kamu
memang harusnya ditampar, kamu tidak kasihan dengan istrimu apa kalau kamu
terus-terusan saja bersikap dingin padanya.” Sahut Mama dengan mata melotot,
benar-benar menakutkan sekali Mama kali ini.
“Aku
nggak bisa, Ma.” Kataku sambil tersenyum kelu sesaat mataku menatap wajah Intan
yang sudah dibanjiri dengan airmatanya. Lagi-lagi aku harus melukainya, maafkan
mamaku yang telah menghadirkan aku dalam hidupmu.
“Kenapa
nggak bisa mas?” kali ini Intan memberanikan diri untuk bertanya dengan peluh
terus saja membasahi pipinya. Mama segera merangkul pundaknya sambil
menenangkan hatinya.
“Maafin,
aku Ntan. Aku bukan laki-laki yang bisa kamu harapkan, aku nggak bisa mencintai
kamu.” Kali ini aku mencoba menjelaskan dengan lebih hati-hati. Aku ingin
sekali berterus terang dengannya, tapi setiap kali melihat airmata Intan,
rasanya aku tak tega membiarkannya terlalu lama menangis.
Ahh
lagi-lagi aku membayangkan peristiwa kemarin. Aku sudah tak sanggup untuk
berada di rumahku sendiri. Istriku yang terus saja memaksaku menjadi seorang
suami yang baik untuknya. Aku sudah menafkahinya secara materi untuknya dan dia
tak kekurangan apapun dalam segi ekonomi. Mama lah yang terus saja memintaku
seorang cucu dari rahim Intan. Sehingga lagi-lagi Intan merengek kepadaku untuk
segera menuruti keinginan Mama.
Tiba-tiba
getaran handphone memecah lamunanku. Aku tergugu saat layar ponselku muncul
nama. Intan.
“Mas,
kamu dimana?cepatlah pulang mas.” Kata Intan memohon agar aku pulang.
“Sudahlah,
Intan. Jangan paksa aku untuk menjadi yang seperti yang kalian mau.”
Aku
segera mematikan sekaligus non-aktifkan ponselku. Aku kembali merebahkan
tubuhku di kasur diikuti pula oleh Rendra.
“Kali
ini aku ikut panik dengan masalahmu ini.” kata Rendra dengan wajah tampak
pucat.
“Apa
kau akan meninggalkanku bersama masalahku ini dan kau kembali ke
Jakarta?”tanyaku sedikit resah kepada Rendra.
“Sebenarnya
aku kemarin juga akan dinikahi oleh anak teman Ayah, tapi aku menolaknya.”
“Kenapa?”
tanyaku tergesa-gesa ingin sekali tahu.
“karena
aku tahu akibatnya akan seburuk ini. Aku tidak ingin melukai siapapun.”
Aku
menerawang ke atas langit-langit kamar ini. Aku telah salah dalam melangkah,
untuk memperjuangkan cintaku dengan Rendra saja begitu sulit. Apalagi ditambah
dengan masalah baru dengan adanya Intan. Harus aku apakan istriku ini, dia
terus saja berharap padaku. Dan aku sedikit pun tak bisa untuk mewujudkan
harapan-harapannya. Aku ingin sekali menyudahi pernikahan ini. dan tentu saja
pasti Mama akan membuangku dan tak mengakui lagi sebagai anaknya.
“sebaiknya
kau jujur saja yang dengan Intan. Jujur dengan apa yang terjadi, tentang
perasaanmu dan tentang hubungan kita yang dia tahu hanya sebagai hubungan
sahabat padahal lebih.”
“Suatu
hari kalau aku sudah siap, aku akan mengatakannya kepada Intan.”
“Terlalu
lama kau mengaku pada Intan, maka semakin lama lagi kau menyiksa batinnya. Ayo
kita ke rumahmu.” Rendra menarik tanganku agar aku terbangun dari peraduanku,
aku lemas sekali rasanya. Tapi aku tidak bisa menolak ajakan Rendra. Kali ini
aku di boncengi Rendra menuju rumahku.
***
“Mas
Danu!” Intan begitu bahagianya saat melihatku berada di depan pintu, dia seakan
langsung ingin memelukku tapi aku langsung menahannya. Intan langsung sadar
diri dengan hal itu.
“Ada
hal yang mau aku bicarakan sama kamu, Ntan.” Kata Rendra mencoba langsung to the point dengan kedatangannya ke
rumah. Rendra terus saja menggenggam tanganku dengan kuat. Tapi rupanya Intan
belum menyadari hal itu.
“Silahkan
masuk mas, kita bicarakan baik-baik.”
Aku
terus saja menundukkan kepalaku, aku takut ada kegemparan di rumah ini setelah
Rendra mengatakan yang sebenarnya dengan Intan.
“Apa
kamu mencintai mas Danu, Ntan?”
“Tentu
saja mas. Ada apa ini sebenarnya?” tanya Intan dengan wajah nanar seketika dia
melihat genggaman tangan antara aku dan Rendra.
“Relakan
aku dan mas Danu, Ntan.”
Suara
tangis itu pecah lagi menelisik ke seluruh sudut ruangan rumah ini. Telingaku
sudah tak ingin lagi mendengar Intan menangis. Aku bangkit dari dudukku dan
menghampiri Intan untuk memeluknya, kali ini dia mencegahku untuk
menenangkannya. Intan sudah tahu kini siapa aku dan Rendra. Bahkan dia sama
sekali tidak ingin menyentuhku. Benar-benar seperti seorang yang sedang
kejijikan. Begitu nistanya kah aku, benarkah kau tulus padaku mengapa sekarang
kau berbalik arah seperti orang yang tak menganggapku sebagai manusia.
Aku
berharap Intan benar-benar memaafkan atas diriku dan juga mama yang sebelumnya
tidak pernah jujur dengan hal itu. Setelah menjelaskan masalah itu dengan
Intan, tiba-tiba saja wanita paruh baya menyambangi rumahku. Rendra melepaskan
genggaman tangannya padaku, mengernyitkan dahi. Oh, tidak kali ini masalah akan
bertambah dengan kedatangan mama. Mama juga terlihat begitu takjub melihat aku
dan Rendra ada di rumah sedangkan Intan masih menangis di ruang tamu.
Aku
segera menggenggam tangan Rendra kembali, aku pasrah kali ini. Jika memang mama
harus marah, aku terima. Tapi aku tidak akan melepaskan Rendra untuk yang kedua
kalinya lagi.
-bersambung...
0 comments:
Post a Comment