18 December 2014

Suamimu Itu Kekasihku Part 2


Hari ini aku merasakan begitu kalut dan kacau. Aku merasakan aku telah gagal menjadi anak yang baik untuk mama, gagal menjadi panutan dari kedua adikku dan tentu saja gagal menjadi seorang suami yang normal untuk istriku. Aku menanggung beban itu semua sendirian. Tidak aku tidak sendirian, ada Rendra yang selalu ada untukku untuk menguatkan hatiku yang rapuh ini. Dialah penyemangatku kali ini untuk terus tetap bertahan dalam kondisi apapun, sekaligus aku mempertahankan rasa cintaku pada Rendra.

Aku terbaring dalam sebuah kasur empuk di sebuah kontrakan yang cukup nyaman ini. Penyewanya tentu saja Rendra, dia rela meninggalkan kota Jakarta hanya untuk menemuiku di Jogja. Padahal jelas-jelas dia ingin melupakan aku saat aku sudah mengucapkan ijab sah pada seorang wanita bernama Intan. Untung saja Rendra tak melakukan aksi apapun saat aku melangsungkan pernikahan tiga bulan yang lalu. Rendra hanya ke Jakarta ke rumah Ayahnya, tentu saja untuk sekedar meredam rasa amarah dan gelisahnya.

Aku menghisap rokok kretek di atas kasur milik Rendra. Aku mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.

“Enak saja kau mau maen ngerokok di sini, jangan kau larikan masalahmu dengan rokok ini!” Rendra segera menyambar rokokku saat aku tengah asik menikmati sentuhan asap rokok yang legit ini.

“Sekali saja, Ren.” Pintaku dengan wajah memelas, berharap Rendra mengiba padaku dan memberikan kembali rokoknya. Sayang, hal itu tidak mungkin terjadi.

“Rokok akan membuatmu mati secara perlahan-lahan tau!” sahut Rendra dengan sengit. Lalu meraih beberapa puntung rokok yang aku sembunyikan di balik jaketku beserta koreknya. Aku pun hanya bisa pasrah.

Terasa ngilu sekali saat ini, beban masalahku sudah memuncak dan rasanya kepalaku enggan sekali merasakannya. Masalah yang tak seharusnya besar kini menjadi membesar. Dan aku bingung sekali bagaimana menghadapinya. Rendra lalu duduk di sampingku sambil merangkul pundakku. Senang rasanya seseorang yang aku sayang ada di sini bersamaku menanggung beban bersama.

“Kau harusnya mandi dulu yang. Biar pikiran fresh dulu baru kita pikirkan masalah ini bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi seperti dulu.” Rendra mengucapkan kata-kata yang begitu berarti untukku.

“Nanti lah Yang, aku pasti mandi.” Sahutku dengan wajah pilu mengingat insiden kemarin membuatku benar-benar kacau.

***
“Mama benar-benar menamparku.” Kataku sambil mengelus pipi sembari aku melemparkan handuk ke arah sofa dengan beringas.

“Kamu memang harusnya ditampar, kamu tidak kasihan dengan istrimu apa kalau kamu terus-terusan saja bersikap dingin padanya.” Sahut Mama dengan mata melotot, benar-benar menakutkan sekali Mama kali ini.

“Aku nggak bisa, Ma.” Kataku sambil tersenyum kelu sesaat mataku menatap wajah Intan yang sudah dibanjiri dengan airmatanya. Lagi-lagi aku harus melukainya, maafkan mamaku yang telah menghadirkan aku dalam hidupmu.

“Kenapa nggak bisa mas?” kali ini Intan memberanikan diri untuk bertanya dengan peluh terus saja membasahi pipinya. Mama segera merangkul pundaknya sambil menenangkan hatinya.

“Maafin, aku Ntan. Aku bukan laki-laki yang bisa kamu harapkan, aku nggak bisa mencintai kamu.” Kali ini aku mencoba menjelaskan dengan lebih hati-hati. Aku ingin sekali berterus terang dengannya, tapi setiap kali melihat airmata Intan, rasanya aku tak tega membiarkannya terlalu lama menangis.

Ahh lagi-lagi aku membayangkan peristiwa kemarin. Aku sudah tak sanggup untuk berada di rumahku sendiri. Istriku yang terus saja memaksaku menjadi seorang suami yang baik untuknya. Aku sudah menafkahinya secara materi untuknya dan dia tak kekurangan apapun dalam segi ekonomi. Mama lah yang terus saja memintaku seorang cucu dari rahim Intan. Sehingga lagi-lagi Intan merengek kepadaku untuk segera menuruti keinginan Mama.

Tiba-tiba getaran handphone memecah lamunanku. Aku tergugu saat layar ponselku muncul nama. Intan.

“Mas, kamu dimana?cepatlah pulang mas.” Kata Intan memohon agar aku pulang.
“Sudahlah, Intan. Jangan paksa aku untuk menjadi yang seperti yang kalian mau.”

Aku segera mematikan sekaligus non-aktifkan ponselku. Aku kembali merebahkan tubuhku di kasur diikuti pula oleh Rendra.

“Kali ini aku ikut panik dengan masalahmu ini.” kata Rendra dengan wajah tampak pucat.

“Apa kau akan meninggalkanku bersama masalahku ini dan kau kembali ke Jakarta?”tanyaku sedikit resah kepada Rendra.

“Sebenarnya aku kemarin juga akan dinikahi oleh anak teman Ayah, tapi aku menolaknya.”

“Kenapa?” tanyaku tergesa-gesa ingin sekali tahu.

“karena aku tahu akibatnya akan seburuk ini. Aku tidak ingin melukai siapapun.”
Aku menerawang ke atas langit-langit kamar ini. Aku telah salah dalam melangkah, untuk memperjuangkan cintaku dengan Rendra saja begitu sulit. Apalagi ditambah dengan masalah baru dengan adanya Intan. Harus aku apakan istriku ini, dia terus saja berharap padaku. Dan aku sedikit pun tak bisa untuk mewujudkan harapan-harapannya. Aku ingin sekali menyudahi pernikahan ini. dan tentu saja pasti Mama akan membuangku dan tak mengakui lagi sebagai anaknya.

“sebaiknya kau jujur saja yang dengan Intan. Jujur dengan apa yang terjadi, tentang perasaanmu dan tentang hubungan kita yang dia tahu hanya sebagai hubungan sahabat padahal lebih.”

“Suatu hari kalau aku sudah siap, aku akan mengatakannya kepada Intan.”

“Terlalu lama kau mengaku pada Intan, maka semakin lama lagi kau menyiksa batinnya. Ayo kita ke rumahmu.” Rendra menarik tanganku agar aku terbangun dari peraduanku, aku lemas sekali rasanya. Tapi aku tidak bisa menolak ajakan Rendra. Kali ini aku di boncengi Rendra menuju rumahku.

***
“Mas Danu!” Intan begitu bahagianya saat melihatku berada di depan pintu, dia seakan langsung ingin memelukku tapi aku langsung menahannya. Intan langsung sadar diri dengan hal itu.

“Ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu, Ntan.” Kata Rendra mencoba langsung to the point dengan kedatangannya ke rumah. Rendra terus saja menggenggam tanganku dengan kuat. Tapi rupanya Intan belum menyadari hal itu.

“Silahkan masuk mas, kita bicarakan baik-baik.”

Aku terus saja menundukkan kepalaku, aku takut ada kegemparan di rumah ini setelah Rendra mengatakan yang sebenarnya dengan Intan.

“Apa kamu mencintai mas Danu, Ntan?”

“Tentu saja mas. Ada apa ini sebenarnya?” tanya Intan dengan wajah nanar seketika dia melihat genggaman tangan antara aku dan Rendra.

“Relakan aku dan mas Danu, Ntan.”

Suara tangis itu pecah lagi menelisik ke seluruh sudut ruangan rumah ini. Telingaku sudah tak ingin lagi mendengar Intan menangis. Aku bangkit dari dudukku dan menghampiri Intan untuk memeluknya, kali ini dia mencegahku untuk menenangkannya. Intan sudah tahu kini siapa aku dan Rendra. Bahkan dia sama sekali tidak ingin menyentuhku. Benar-benar seperti seorang yang sedang kejijikan. Begitu nistanya kah aku, benarkah kau tulus padaku mengapa sekarang kau berbalik arah seperti orang yang tak menganggapku sebagai manusia.

Aku berharap Intan benar-benar memaafkan atas diriku dan juga mama yang sebelumnya tidak pernah jujur dengan hal itu. Setelah menjelaskan masalah itu dengan Intan, tiba-tiba saja wanita paruh baya menyambangi rumahku. Rendra melepaskan genggaman tangannya padaku, mengernyitkan dahi. Oh, tidak kali ini masalah akan bertambah dengan kedatangan mama. Mama juga terlihat begitu takjub melihat aku dan Rendra ada di rumah sedangkan Intan masih menangis di ruang tamu.

Aku segera menggenggam tangan Rendra kembali, aku pasrah kali ini. Jika memang mama harus marah, aku terima. Tapi aku tidak akan melepaskan Rendra untuk yang kedua kalinya lagi.


-bersambung...

0 comments:

Post a Comment