Sudah
sebulan aku menikahi Intan, namun tak sedikitpun aku menyentuhnya. Aku sudah
berusaha keras menjadi anak yang berbakti kepada orangtua, menjadi seorang
kakak yang berharap menjadi panutan untuk adik-adiknya, serta berusaha menjadi
suami yang baik untuk istriku. Mama telah berusaha membuatku ke jalan yang dia
anggap terbaik untukku, tetapi bagiku pilihan ini justru membuat seorang wanita
terluka dan menangis karena sikapku.
“Aku
tau, kita hanya dijodohkan oleh orangtua kita. Tak bisakah kau mencintaiku
setulus hatimu?” tanya Reta sambil terisak-isak, aku tak kuasa selalu
melihatnya menangis. Aku selalu memeluknya saat butiran-butiran airmatanya
menggenang di pelupuk matanya.
“Maaf,
aku hanya butuh waktu.” Aku mencoba memberikan alasan kepada Reta, istriku yang
ternyata mencintaiku setulus hati sejak pertemuan pertama perjodohan dulu.
“Apakah
kau mencintai wanita lain?” tanya Reta, aku menggeleng cepat karena tuduhannya
sama sekali salah. Aku bahkan tak mencintai wanita mana pun. Aku selalu
tercekat ketika aku hendak mengatakan sesuatu dengannya. Aku tak ingin
melukainya lebih dalam lagi dengan pernyataanku nanti. Tapi aku selalu
berharap, dia akan menerima dengan lapang dada.
***
Setelah
beberapa lama, Intan sudah tak pernah menuntutku macam-macam. Dia wanita yang
baik seharusnya dia menjadi istri seorang laki-laki yang tidak sepertiku. Tapi
mau di kata apalagi, nasi sudah menjadi bubur. Andai waktu bisa diulang lagi,
aku akan menolak pernikahan ini andai saja aku lebih tahu dampak yang terjadi
setelah aku menikah dengan Intan.
“Halo”
aku menjawab sebuah telepon yang tak lain adalah dari Rendra.
“Gimana
kabarmu dengan istrimu?” Rendra langsung to the point, membuatku semakin tak
enak hati dengan Rendra. Rendra adalah sahabatku lebih tepatnya, mantan
pacarku.
“A...aku
ba..baik saja kok. Ada apa Ren?” aku tergagu bingung, entah haruskah senang
ataukah sedih saat Rendra harus datang lagi dalam kehidupanku.
“Aku
rindu denganmu, bolehkah aku ke rumahmu. Tenang saja istrimu tidak akan curiga
kalau laki-laki yang datang menemuimu.” Rengek Rendra yang masih saja merayuku
untuk menemuinya. Aku tergelitik dengan semua rayuannya yang memabukkan itu.
Aku menyetujui keinginannya yang akan datang ke rumah selama Mama tidak tahu.
Sehabis
Isya, Rendra datang ke rumah membawa semangkuk bakso. Aku sedikit kikuk
menerimanya, seharusnya Rendra membawakannya dua porsi bukan satu porsi begini
kan. Tapi untuk menghargai usahanya menemuiku, aku pun menerima pemberiannya.
Intan pun langsung menyapa Rendra dengan senang hati.
“Loh,
ada tamu ya mas.” Kata Intan sambil menyambangi ruang tamu dengan senyuman
manisnya.
“Aku
Rendra, kamu Intan kan istrinya Mas Danu. Aku sahabatnya.” Rendra pun akhirnya
mau nggak mau harus beramah tamah dengan Intan. Walaupun wajahnya terlihat
sedikit jelous.
“Oh,
jadi ini mas Rendra. Mas Danu sering cerita soal mas Rendra katanya sahabat
karib dari jaman SMA.”
“Oh,
ya. Emang mas Danu cerita apa aja, Ntan?” Rendra tergelitik saat Intan
berbasa-basi. Aku hanya terdiam tercenung melihat aksi mereka saling beramah
tamah.
“Ehm...ehm”
aku pun berdehem memberikan kode untuk mereka yang sedari tadi bercerita
panjang lebar. Aku pun merasa di cuekin Rendra. Menyadari hal itu, Intan
langsung ke dapur untuk membuatkan minuman, sedangkan Rendra langsung
menghentikan obrolannya dengan Intan.
“Jangan
marah lah, aku hanya mengobrol sebentar dengan istrimu.”
“Walaupun
dia wanita bukan laki-laki, aku juga malas jika melihatmu begitu akrab
dengannya.” Sahutku dengan muka masam.
“Hei,
kau ini aku datang jauh-jauh bukan untuk melihatmu marah kan. Oke, aku minta
maaf.”
“Sudahlah,
lupakan saja.” Cetusku sambil membuka bungkusan berisi satu porsi bakso.
“Istrimu
itu cantik, tapi sayangnya dia nggak tahu kalau suaminya itu gay. Apa jadinya
kalau istrimu tahu hal ini, bukankah justru akan membuatnya terluka. Mamamu
memang salah langkah dalam memutuskan hal ini.” Rendra selalu saja mempunyai
pikiran yang sama denganku. Aku bingung harus bersikap seperti apa lagi dengan
Intan.
Malam
ini kali pertamanya aku bertemu dengan Rendra semenjak aku sudah menikah dengan
Intan. Tapi kali ini setiap seminggu sekali, aku rutin bertemu dengan Rendra.
Entah itu di rumahku atau menemuinya di kontrakan. Bersama Rendra aku bahkan
lebih bahagia dan nyaman daripada dengan istriku sendiri. Suatu hari aku akan
berterus terang dengan Intan dan aku ingin dia menceraikan aku.
“Mama.”
Aku tergugu melihat wajah Mama pagi-pagi sudah datang ke rumah. Intan juga
sudah berada di ruang tamu menemui Mama. Matanya terlihat sembab, aku curiga
pastilah Intan menceritakan tentang masalah rumah tanggaku dengan Mama.
“Mau
sampai kapan Mama menunggu seorang cucu?” Mama mencoba mencairkan suasana.
Lagi-lagi pertanyaan yang membuatku gelisah. Aku tertawa kelu mendengarkan
pertanyaan dari mama. Boro-boro cucu, menyentuh Intan saja tidak.
“Sabar,
Ma. Intan pasti akan memberikan Mama cucu.” Intan terlihat sedang menghibur
Mama walaupun dia sendiri sebenarnya tidak yakin dengan hubungannya yang sedang
dijalaninya denganku. Aku pura-pura tak mendengarkan perkataan Mama, kuraih
handuk dan segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
“Danu!”
kali ini Mama melengkingkan suaranya tinggi. Aku menghentikan langkahku
mendengar suaranya. Aku gemetar melihat Mama yang begitu marahnya dan
menamparku keras-keras.
Plaaak.
Tangan
mama melayang ke arah pipiku. Hantaman yang begitu menyakitkan. Perih dan
panas.
“Sekali
lagi kamu temui temanmu Rendra, Mama nggak akan segan-segan lagi buat...?” Mama
mencoba hati-hati dalam bicara, apakah mungkin Intan sudah tahu hal ini,
ataukah Mama masih menyembunyikan hal ini. Intan menatap mama dengan tatapan
bingung. Sedangkan aku masih tertunduk dengan wajah kuyu, sambil menahan rasa
perihku sehabis kena tamparan mama. Apalagi yang akan mama lakukan pada
hidupku???
-bersambung...
Asyik juga tengah malam gini baca ceritanya, di tunggu sambungannya mabak
ReplyDeletehehehe makasih ya, udah sempetin baca.....
ReplyDeleteoke tunggu aja kelanjutannyaa.. :)