Oleh:
Lilih Putri Pratiwi
Lilih Putri Pratiwi
Malam
ini tepatnya bulan Desember, tahun ini telah memasuki bulan hujan kembali. Aku selalu
merasa memasuki sebuah masalalu dalam perputaran waktu dimana aku dan seseorang
yang aku anggap istimewa itu mengulang kisah ini kembali. Kisah-kisah dimana
saat aku dan dia menikmati indahnya hujan bersama. Aku setengah melamun
mengingat semua kenangan dalam hujan yang telah kulewati bersamanya.
“Sial!”
aku mencoba mengaktifkan ponselku yang sudah melemah karena lowbat. Dan malangnya ponselku sudah
benar-benar tak mau hidup.
Suasana
sudah semakin mencekam ditambah alunan petir yang bergemuruh membuat nyaliku
mendadak menciut. Teman-teman sudah pulang semua kecuali aku yang masih tergugu
di sudut bawah gerbang sekolah.
“Tidak,
terima kasih.” Kataku lirih, padahal aku bingung bagaimana harus pulang di saat
hujan deras begini. Dan orang ini tak lain adalah Seno, anak bu kantin
sekaligus orang yang tinggal dekat dengan sekolahan. Dan
bodohnya, dia hanya memberiku sebuah payung, padahal rumahku lumayan jauh dari
sekolah, sebuah payung saja tidak cukup.
“Ru..rumahmu
dimana?” tanyanya dengan kikuk, aku hanya menoleh dan kembali memfokuskan melihat
hujan yang semakin lebat di depanku.
“Hei,
aku sedang bicara denganmu. Aku ingin menolongmu itu saja. Kita sekolah di
tempat yang sama walaupun kita beda kelas. Aku Seno.” Katanya panjang lebar
sambil mengulurkan tangannya. Aku tak menggubrisnya, bahkan aku pun tak
membalas uluran tangannya. Jahat sekali memang.
“Aku
sudah tahu, kamu anak dari bu Risma kan?” kataku sedikit sinis.
“Iya,
setidaknya bolehkan aku tahu namamu.” Sekali lagi anak itu mencoba mengajakku
bicara panjang lebar.
Sedikit
resah aku berada di sini lama-lama, tapi hujan membuatku bertahan lebih lama. Mau
tidak mau aku harus mau ditemani oleh Seno. Orang yang paling dijauhi di
seantero sekolahan ini, terutama bagi cewek-cewek. Alasannya tentu saja karena
dia anak dari bu kantin, dan kami teralu gengsi untuk mengenalnya sebagai
seorang teman, termasuk aku. Apalagi sekolahku ini memang sekolahan elite yang benar-benar hanya orang tertentu saja
yang masuk sekolah ini.
“Aku
Silvia.” Kataku lantang menyebutkan namaku. Mau nggak mau aku harus menyebutkan
namaku. Karena sepertinya aku membutuhkan dia saat ini. Memanfaatkannya sekali
ini saja mungkin tidak akan dosa kan?
“Oh,
kamu Silvia. Anak kelas XI IPA 2.”
“Umm..iya.
Oh, iya kamu punya handphone nggak?” tanyaku sedikit ragu, karena setahuku dia
memang tidak punya handphone. Ahh, sepertinya aku salah orang jika aku berharap
bantuannya.
“Maaf,
aku nggak punya. Rumahmu jauh dari sini ya?” tanyanya mulai kepo, dan aku
benar-benar berharap dia pergi sekarang juga. Tapi aku mencoba sabar dengan
tindakanku, karena aku nggak mungkin menunggu hujan deras di sini sendirian
karena aku sendiri takut.
“Iya,
dan hp-ku mati jadi aku nggak bisa menelphon sopirku. Dia hanya akan datang
kalau dapat telpon atau sms dariku. Karena kadang aku pulang bareng temanku.” Kataku
panjang lebar. Seno tetap mendengarkan penjelasanku dengan sabar. Dia hanya
terdiam mungkin dia sedang memikirkan cara untuk menolongku.
“Setelah
hujan reda, nanti aku antar pulang tenang saja.” Katanya sedikit menghiburku
kala itu. Suara petir kembali bersahutan, aku menutup telingaku karena aku
memang takut dengan suara petir. “Lebih baik kita ke rumahku dulu, hujannya
sepertinya awet.” Tanpa panjang lebar lagi, aku mengiyakan ajakan Seno. Dia
membuka payungnya, payung yang sudah lusuh itu membawaku bersama Seno ke sebuah
rumah di dekat sekolah. Rumah yang tak begitu besar.
“Siapa
No?” tanya Bu Risma, aku menganggukan kepalaku tanda menyapa. Bu Risma
tersenyum melihatku.
“Teman,
Bu. Belum dijemput sama sopir jadi aku ajak ke sini sampai hujannya reda. Biar
nanti aku antar pulang.”
Bu
Risma mengulurkan tangannya sambil tersenyum ke arahku. Teduh dan nyaman aku
melihat Bu Risma. Tiba-tiba saja aku merindukan mama.
“Sebentar
ya, ibu buatkan teh hangat dulu. Maaf ya nak, tempatnya seadanya ya beginilah
rumah ibu dan Seno.”
“Iya,
bu nggak apa-apa kok.” Sahutku tak enak hati dengan kerendahan hati Bu Risma.
“No,
Seno” dalam sebuah kamar terdengar suara laki-laki sedikit berat memanggil-manggil
Seno. Aku tidak dapat melihatnya dari luar, sepertinya bapaknya Seno.
“Iya,
Pak. Ada apa?” tanya Seno seramah mungkin.
“Ada
siapa di luar?”
“Silvia,
Pak. Teman Seno, tidak bisa pulang karena terjebak hujan. Bapak, tidur lagi
saja.” Kata Seno lalu dia pun segera keluar dan menutup pintu kamar bapaknya.
Dia kembali duduk menemaniku di ruang tamu. Bu Risma datang dari dapur membawa
sebuah nampan berisi dua gelas teh hangat dan setoples kue kering.
“Ini,
nak di minum dulu. Ibu ke belakang dulu ya.” Kata Bu Risma sambil berlalu. Aku
menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Minumlah,
kamu pasti kedinginan kan.”
“Nanti
sajalah, aku malas.” Kataku cuek sambil sesekali memencet ponselku agar mau
menyala dan hasilnya tetap sama tidak menyala. Aku mengutuk ponselku ini karena
semalam aku lupa cas.
“Sudahlah,
hujan masih deras. Hp-mu diletakkan di meja dan kamu minum dulu teh ini. Kalau
kamu tidak mau minum teh ini, berarti kamu tidak menghargai Ibuku yang sudah
membuatkannya.” Kata Seno sambil menyodorkan segelas teh hangat tepat di
mukaku. Aishh, anak ini benar-benar menjengkelkan sekali. “Ayo, nggak usah
sungkan.” Lanjut Seno sambil tersenyum. Dan aku pun meraihnya segera aku minum
setengahnya. Benar-benar hangat sekali rasanya.
“Kamu
berapa bersaudara sih?” tanyaku berbasa-basi.
“Umm,
sebenarnya aku dua bersaudara. Aku punya adik perempuan lebih muda dariku dua
tahun, tapi setelah lulus SD dia meninggal akibat demam berdarah. Kami
terlambat membawanya ke rumah sakit.”
“Maaf,
aku jadi membuatmu ingat lagi.” Kataku tak enak hati.
“Nggak
papa, walaupun kamu nggak tanya, aku tetap mengingat adikku sampai kapanpun.
Kamu sendiri berapa bersaudara?”
“Umm,
aku anak tunggal kok. Oh, iya tadi bapakmu ya yang di dalam kamar?”
“Iya,
bapakku sakit stroke sudah tiga tahun
ini. Do’akan bapakku ya semoga lekas sembuh.” Kata Seno sambil menenggak tehnya
lagi. Ada wajah yang menanggung beban dalam dirinya. Mungkin dia sedang
memikirkan bapaknya.
Aku
melihat dari balik jendela rumah Seno, akhirnya hujan pun reda tepat di jam 3
sore. Akhirnya, aku akan segera pulang ke rumah. Seno yang menyadari aku
melihat keluar pun juga tersadar kalau hujan sudah berhenti lima menit yang
lalu.
“Ayo,
aku antar pulang tapi pakai sepeda ya. Aku hanya punya sepeda, tidak ada motor
ataupun mobil seperti kepunyaanmu.”
Setelah
berpamitan dengan Bu Risma, aku segera melesat meninggalkan daerah sekolahanku.
Seno terus mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Aku memejamkan mata
sambil menghirup udara yang masih bau tanah basah. Seno mendadak kegirangan
sambil menunjuk-nunjuk arah adanya sebuah pelangi.
“Hei,
sudah lama aku tidak melihat pelangi.” Seruku dengan girang.
“Kata
orang saat pelangi muncul, orang yang sudah tiada akan ada di atas pelangi itu
untuk melihat keluarganya yang masih hidup. Mungkin adikku saat ini juga sedang
melihatku.” Kata Seno, mendadak aku terdiam mengacuhkan kata-kata Seno.
“Hei,
kamu kenapa Silvi?” tanyanya karena dia tak mendengar gelak suara tawaku lagi.
“Apa
mamaku juga ada di atas pelangi itu?” tanyaku kepada Seno dengan sedikit sedih
karena kembali mengingat almarhumah mama.
“Tentu
saja.” Kata Seno mencoba menghiburku. Aku tersenyum memandang pelangi itu. Aku
pun tersugesti dengan kata-kata Seno barusan. Andai saja itu benar, aku bahagia
jika mama melihatku hari ini. Anakmu tidak di jemput supir karena hp-nya lowbat dan aku diantar pulang temanku
naik sepeda. Dia namanya Seno, Mah.
Aku merasakan
keteduhan hati di balik kepribadian Seno. Anak yang paling tak di senangi
teman-teman di sekolah. Apa alasan mereka untuk membenci Seno. Aku salah
menilai Seno, aku hanya menilainya dari segi finansial dan statusnya sebagai
anak dari penjual makanan di kantin sekolah. Oh, maafkan aku Seno. Aku sungguh malu hari ini
justru kamu-lah malaikat penolongku hari ini.
-bersambung...
0 comments:
Post a Comment