20 December 2014

Saat Hujan Memutar Kenangan Part 1


Oleh: 
Lilih Putri Pratiwi


Malam ini tepatnya bulan Desember, tahun ini telah memasuki bulan hujan kembali. Aku selalu merasa memasuki sebuah masalalu dalam perputaran waktu dimana aku dan seseorang yang aku anggap istimewa itu mengulang kisah ini kembali. Kisah-kisah dimana saat aku dan dia menikmati indahnya hujan bersama. Aku setengah melamun mengingat semua kenangan dalam hujan yang telah kulewati bersamanya.

“Sial!” aku mencoba mengaktifkan ponselku yang sudah melemah karena lowbat. Dan malangnya ponselku sudah benar-benar tak mau hidup.

Suasana sudah semakin mencekam ditambah alunan petir yang bergemuruh membuat nyaliku mendadak menciut. Teman-teman sudah pulang semua kecuali aku yang masih tergugu di sudut bawah gerbang sekolah.

“Ini.” seseorang telah membuatku kaget sambil membawakan sebuah payung.


“Tidak, terima kasih.” Kataku lirih, padahal aku bingung bagaimana harus pulang di saat hujan deras begini. Dan orang ini tak lain adalah Seno, anak bu kantin sekaligus orang yang tinggal dekat dengan sekolahan. Dan bodohnya, dia hanya memberiku sebuah payung, padahal rumahku lumayan jauh dari sekolah, sebuah payung saja tidak cukup.

“Ru..rumahmu dimana?” tanyanya dengan kikuk, aku hanya menoleh dan kembali memfokuskan melihat hujan yang semakin lebat di depanku.

“Hei, aku sedang bicara denganmu. Aku ingin menolongmu itu saja. Kita sekolah di tempat yang sama walaupun kita beda kelas. Aku Seno.” Katanya panjang lebar sambil mengulurkan tangannya. Aku tak menggubrisnya, bahkan aku pun tak membalas uluran tangannya. Jahat sekali memang.

“Aku sudah tahu, kamu anak dari bu Risma kan?” kataku sedikit sinis.

“Iya, setidaknya bolehkan aku tahu namamu.” Sekali lagi anak itu mencoba mengajakku bicara panjang lebar.

Sedikit resah aku berada di sini lama-lama, tapi hujan membuatku bertahan lebih lama. Mau tidak mau aku harus mau ditemani oleh Seno. Orang yang paling dijauhi di seantero sekolahan ini, terutama bagi cewek-cewek. Alasannya tentu saja karena dia anak dari bu kantin, dan kami teralu gengsi untuk mengenalnya sebagai seorang teman, termasuk aku. Apalagi sekolahku ini memang sekolahan elite  yang benar-benar hanya orang tertentu saja yang masuk sekolah ini.

“Aku Silvia.” Kataku lantang menyebutkan namaku. Mau nggak mau aku harus menyebutkan namaku. Karena sepertinya aku membutuhkan dia saat ini. Memanfaatkannya sekali ini saja mungkin tidak akan dosa kan?

“Oh, kamu Silvia. Anak kelas XI IPA 2.”

“Umm..iya. Oh, iya kamu punya handphone nggak?” tanyaku sedikit ragu, karena setahuku dia memang tidak punya handphone. Ahh, sepertinya aku salah orang jika aku berharap bantuannya.

“Maaf, aku nggak punya. Rumahmu jauh dari sini ya?” tanyanya mulai kepo, dan aku benar-benar berharap dia pergi sekarang juga. Tapi aku mencoba sabar dengan tindakanku, karena aku nggak mungkin menunggu hujan deras di sini sendirian karena aku sendiri takut.

“Iya, dan hp-ku mati jadi aku nggak bisa menelphon sopirku. Dia hanya akan datang kalau dapat telpon atau sms dariku. Karena kadang aku pulang bareng temanku.” Kataku panjang lebar. Seno tetap mendengarkan penjelasanku dengan sabar. Dia hanya terdiam mungkin dia sedang memikirkan cara untuk menolongku.

“Setelah hujan reda, nanti aku antar pulang tenang saja.” Katanya sedikit menghiburku kala itu. Suara petir kembali bersahutan, aku menutup telingaku karena aku memang takut dengan suara petir. “Lebih baik kita ke rumahku dulu, hujannya sepertinya awet.” Tanpa panjang lebar lagi, aku mengiyakan ajakan Seno. Dia membuka payungnya, payung yang sudah lusuh itu membawaku bersama Seno ke sebuah rumah di dekat sekolah. Rumah yang tak begitu besar.

“Siapa No?” tanya Bu Risma, aku menganggukan kepalaku tanda menyapa. Bu Risma tersenyum melihatku.

“Teman, Bu. Belum dijemput sama sopir jadi aku ajak ke sini sampai hujannya reda. Biar nanti aku antar pulang.”

Bu Risma mengulurkan tangannya sambil tersenyum ke arahku. Teduh dan nyaman aku melihat Bu Risma. Tiba-tiba saja aku merindukan mama.

“Sebentar ya, ibu buatkan teh hangat dulu. Maaf ya nak, tempatnya seadanya ya beginilah rumah ibu dan Seno.”

“Iya, bu nggak apa-apa kok.” Sahutku tak enak hati dengan kerendahan hati Bu Risma.

“No, Seno” dalam sebuah kamar terdengar suara laki-laki sedikit berat memanggil-manggil Seno. Aku tidak dapat melihatnya dari luar, sepertinya bapaknya Seno.

“Iya, Pak. Ada apa?” tanya Seno seramah mungkin.

“Ada siapa di luar?”

“Silvia, Pak. Teman Seno, tidak bisa pulang karena terjebak hujan. Bapak, tidur lagi saja.” Kata Seno lalu dia pun segera keluar dan menutup pintu kamar bapaknya. Dia kembali duduk menemaniku di ruang tamu. Bu Risma datang dari dapur membawa sebuah nampan berisi dua gelas teh hangat dan setoples kue kering.

“Ini, nak di minum dulu. Ibu ke belakang dulu ya.” Kata Bu Risma sambil berlalu. Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum.

“Minumlah, kamu pasti kedinginan kan.”

“Nanti sajalah, aku malas.” Kataku cuek sambil sesekali memencet ponselku agar mau menyala dan hasilnya tetap sama tidak menyala. Aku mengutuk ponselku ini karena semalam aku lupa cas.

“Sudahlah, hujan masih deras. Hp-mu diletakkan di meja dan kamu minum dulu teh ini. Kalau kamu tidak mau minum teh ini, berarti kamu tidak menghargai Ibuku yang sudah membuatkannya.” Kata Seno sambil menyodorkan segelas teh hangat tepat di mukaku. Aishh, anak ini benar-benar menjengkelkan sekali. “Ayo, nggak usah sungkan.” Lanjut Seno sambil tersenyum. Dan aku pun meraihnya segera aku minum setengahnya. Benar-benar hangat sekali rasanya.

“Kamu berapa bersaudara sih?” tanyaku berbasa-basi.

“Umm, sebenarnya aku dua bersaudara. Aku punya adik perempuan lebih muda dariku dua tahun, tapi setelah lulus SD dia meninggal akibat demam berdarah. Kami terlambat membawanya ke rumah sakit.”

“Maaf, aku jadi membuatmu ingat lagi.” Kataku tak enak hati.

“Nggak papa, walaupun kamu nggak tanya, aku tetap mengingat adikku sampai kapanpun. Kamu sendiri berapa bersaudara?”

“Umm, aku anak tunggal kok. Oh, iya tadi bapakmu ya yang di dalam kamar?”

“Iya, bapakku sakit stroke sudah tiga tahun ini. Do’akan bapakku ya semoga lekas sembuh.” Kata Seno sambil menenggak tehnya lagi. Ada wajah yang menanggung beban dalam dirinya. Mungkin dia sedang memikirkan bapaknya.

Aku melihat dari balik jendela rumah Seno, akhirnya hujan pun reda tepat di jam 3 sore. Akhirnya, aku akan segera pulang ke rumah. Seno yang menyadari aku melihat keluar pun juga tersadar kalau hujan sudah berhenti lima menit yang lalu.

“Ayo, aku antar pulang tapi pakai sepeda ya. Aku hanya punya sepeda, tidak ada motor ataupun mobil seperti kepunyaanmu.”

Setelah berpamitan dengan Bu Risma, aku segera melesat meninggalkan daerah sekolahanku. Seno terus mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Aku memejamkan mata sambil menghirup udara yang masih bau tanah basah. Seno mendadak kegirangan sambil menunjuk-nunjuk arah adanya sebuah pelangi.

“Hei, sudah lama aku tidak melihat pelangi.” Seruku dengan girang.

“Kata orang saat pelangi muncul, orang yang sudah tiada akan ada di atas pelangi itu untuk melihat keluarganya yang masih hidup. Mungkin adikku saat ini juga sedang melihatku.” Kata Seno, mendadak aku terdiam mengacuhkan kata-kata Seno.

“Hei, kamu kenapa Silvi?” tanyanya karena dia tak mendengar gelak suara tawaku lagi.

“Apa mamaku juga ada di atas pelangi itu?” tanyaku kepada Seno dengan sedikit sedih karena kembali mengingat almarhumah mama.

“Tentu saja.” Kata Seno mencoba menghiburku. Aku tersenyum memandang pelangi itu. Aku pun tersugesti dengan kata-kata Seno barusan. Andai saja itu benar, aku bahagia jika mama melihatku hari ini. Anakmu tidak di jemput supir karena hp-nya lowbat dan aku diantar pulang temanku naik sepeda. Dia namanya Seno, Mah.

Aku merasakan keteduhan hati di balik kepribadian Seno. Anak yang paling tak di senangi teman-teman di sekolah. Apa alasan mereka untuk membenci Seno. Aku salah menilai Seno, aku hanya menilainya dari segi finansial dan statusnya sebagai anak dari penjual makanan di kantin sekolah. Oh, maafkan aku Seno. Aku sungguh malu hari ini justru kamu-lah malaikat penolongku hari ini.

-bersambung...






0 comments:

Post a Comment