Sesampainya
di depan gerbang rumah, aku segera turun dari sepeda milik Seno. Akhirnya aku
kembali ke rumah, setelah sebelumnya aku mencoba menawarkan Seno untuk sekedar
mampir ke rumah. Tapi Seno menolaknya dengan alasan akan membantu ibunya di rumah.
“Hati-hati
ya.” Sahutku melihat Seno mulai mengayuh sepedanya. Seno hanya membalas dengan
suara bell sepedanya.
Kring...kring...
Di
dalam rumah, ternyata mang Mamad sudah menunggu di halaman dengan wajah cemas.
“Kemana
aja non, kok nggak sms mamang kalau pulang diantar teman nanti kalau Papa tau,
mamang yang kena omel.”
“Yang
penting aku udah sampe rumah kan mang sebelum papa pulang.” Sahutku cuek, mang
Mamad lalu diam tak berkomentar lagi.
Rumah yang
begitu besar dan begitu nyaman tapi terasa dingin dan kaku. Rumah yang sudah
hilang keceriaan semenjak mama meninggal lima tahun yang lalu. Dan papa sering
menghabiskan waktunya di rumah sakit sebagai seorang dokter.
Tiba-tiba
aku teringat sesuatu dan mencari handphone-ku yang butuh cas saat ini. Aku
mencari ke dalam saku bahkan dalam tas. Tidak ada.
“OMG,
ketinggalan di rumah Seno.” Bisikku sambil merebahkan tubuhku di atas kasur.
Lalu tanpa sadar mataku terpejam karena sudah mengantuk sekali.
***
“Semalam
papa pulang jam berapa mang?” tanyaku sambil mengunyah sarapan roti berisi
telur mata sapi kesukaanku yang dibuat oleh bi Sumi.
“Jam
dua belas malam Non. Katanya banyak pasien yang butuh operasi.”
“Ada
pesan dari papa nggak mang?”
“Kata
Papa, non boleh minta hadiah apa saja besok ulang tahun.” Kata mang Mamad
sambil menyetir mobil menuju ke sekolahan mengantarku.
Beginilah
aku jarang sekali bertemu dengan papa. Pulang malam dan berangkat pun juga
pagi-pagi sekali. Tapi sudahlah, sebagai anak aku mencoba berpikir secara
dewasa saja. Daripada papa stres memikirkan kepergian mama. Ya, papa begitu
terpukul saat sebuah operasi jantung gagal dijalani yang akhirnya harus membuat
mama meninggal. Bagiku itu semua adalah takdir tapi papa menganggap dia-lah
yang telah membunuh mama.
“Silvia!”
panggil seseorang saat aku baru saja menginjakan kakiku di depan gerbang. Rendi
bisikku dalam hati.
Rendi
adalah siswa paling populer di sekolahan karena seabrek prestasi bidang
olahraga selalu di raihnya. Wajahnya yang mirip artis Eza Gionino itu membuat
hati para wanita mana pun akan termehek-mehek memohon balasan cinta darinya.
“Kamu
kemana aja sih dari kemarin nggak bisa dihubungi, aku khawatir banget sama
kamu. Apalagi kemarin aku nggak masuk sekolah karena ada pertandingan basket
antar sekolah.” Kata Rendi dengan nada panik seperti orang yang takut
kehilangan barangnya.
“Hei,
kamu berlebihan banget kemarin aku...” belum sempat aku melanjutkan
penjelasanku tiba-tiba Seno datang.
“Silvia,
ini handphone kamu kemarin ketinggalan.” Kata Seno sambil tersenyum menyodorkan
handphone lalu segera pergi menuju ke dalam kelas.
“Makasih
ya.” Kataku sambil membalas senyumnya Seno.
“Sekarang
aku nggak perlu lagi menjelaskan kemana aku kemarin. Lihat sendiri kan hp-ku
mati.” Kataku cuek sambil segera meninggalkan Rendi yang masih melongo nggak
jelas. Dia menarik lenganku.
“Ka...kamu
kemarin sa...sama anak itu?” tanya Rendi yang sepertinya sangat terkejut sekali
pagi ini melihat keakrabanku dengan Seno. Tapi aku hanya diam tak menyahut
membiarkan Rendi terus merasa penasaran dengan berbagai macam pertanyaannya.
Aku melangkah
ke dalam kelas, di sana sudah ada Yolanda, Resti dan Cindy. Seperti biasa
Yolanda dengan aktifitas bercerminnya yang tiada mengenal waktu. Dia adalah
temanku yang paling menor dalam segi berdandan, karena baginya penampilan nomor
satu. Resti temanku yang paling nggak bisa berhenti dengan sms-an. Nggak tahu
juga siapa saja dia sms yang pasti dia sangat senang meladeni siswa-siswa
populer, tajir dan tampan di sekolah ini. sedangkan Cindy si kutu buku yang
nggak bisa lepas dari yang namanya novel, setiap minggu dia harus membeli
buku-buku novel. Tapi dia kutu buku gaul, yang tidak memakai kacamata tebal
seperti di film-film, dia sangat anggun karena dia memakai soflens bening
sebagai penyambung matanya yang sudah minus di atas dua.
“Hai,
beb!” sapa Yolanda. Dia-lah temanku satu meja di kelas ini. Aku pun tersenyum
melihat tingkahnya pagi ini. Karena salah satu alis matanya terlepas sedikit.
“Hei,
kenapa kamu tertawa. Aku cantik kan pagi ini beb?”
“Lebih
baik kamu bercermin deh. Ada bulu mata yang rontok tuh. Hahaha.” Kataku usil,
lalu Yolanda buru-buru mengambil kacanya dan dia menjerit-jerit nggak karuan.
“Oh My
God, ini benar-benar di luar kesadaranku! Padahal tadi pagi aku sempat
berpapasan sama Riko. Astaga, dia akan ilfil melihat dandananku yang kacau hari
ini.” katanya dengan intonasi super alay sambil merengut, dia segera membenahi
bulu matanya itu.
“Eh,
Vi. Kemarin Rendi sms aku tanyain kamu, katanya kemarin hp kamu nggak aktif.”
Resti mulai membuka suara pagi ini.
“Iya,
kemarin aku lupa cas dan kalian tau nggak kemarin aku hampir nggak bisa pulang
tahu!” gerutuku membuat ketiga temanku mendadak memandangku.
“Terus-terus
gimana? sori Vi kemarin aku buru-buru ke toko buku. Jadi aku nggak tahu kamu
nggak ada yang jemput.” Kata Cindy seperti orang yang sedang menyesal.
“Iya,
Beb. Kemarin aku dijemput sama Riko. Maaf ya sampai nggak tahu sahabatku ini
kemarin hp-nya malah mati.” Sahut Yolanda dengan wajah cerianya.
“Sudahlah
lupakan saja. Lagipula kemarin aku bertemu dengan seseorang.” Kataku sambil
tersenyum membuat ketiga temanku tambah heboh. Oh, tidak aku keceplosan. Aku nggak
mungkin bilang kan kalau seseorang itu adalah Seno. Anak bu kantin yang paling
dijauhi di seantero sekolahan ini. Jangan sampai mereka tahu aku mengenalnya.
“Hei,
kamu selingkuh ya?” tanya Resti dengan super kepo. Aku gelagapan dan bingung
untuk menjelaskannya.”Nanti gimana sama Rendi?dia sudah setahun ini
mendekatimu. Dan kamu malah mau dekat sama orang lain.”lanjut Resti dengan
mimik kecewa.
“Bukan
begitu Res. Jangan menuduhku yang tidak-tidak.” Aku mencoba membela diri.
“Vi,
aku udah relain Rendi lo buat kamu. Emang sih, cintaku ke Rendi bertepuk
sebelah tangan tapi sampe kamu nggak terima cintanya Rendi, aku ikut sakit hati
lah. Biar gimana pun aku pengen Rendi bahagia.” Kata Resti panjang lebar, tapi
syukurlah bel tanda masuk kelas berbunyi sehingga aku tak perlu lagi
memperpanjang debat dengan Resti.
“Sudahlah,
Res. Jangan terlalu dipermasalahkan.” Kata Cindy berusaha menenangkan hati
Resti yang seperti orang kebakaran jenggot.
“Siapa
sih beb seseorang yang kamu temui kemarin?”bisik Yolanda ingin tahu, tapi
sedikit pun aku tak membuka suara tentang pertemuanku dengan Seno.
“Ada
deh.” Sahutku sambil membuka buku pelajaran bahasa Indonesia, karena Bu Diana
sudah masuk ke dalam kelas. Yolanda pasang muka cemberut mendengar jawabanku.
***
Bell
pun berbunyi. Jam istirahat pun akhirnya tiba juga. Aku sedikit kegirangan
karena sudah istirahat. Aku akan pergi ke kantin bu Risma. Langkahku terhenti
ketika ketiga temanku menyadari aku akan pergi ke arah yang berbeda.
“Kamu
mau kemana?” tanya Resti yang menyadari aku tidak mengikuti mereka bertiga.
“Kita
kan biasanya istirahat beli cemilan di minimarket depan sekolah kok kamu ke
arah kantin.” Tambah Cindy dengan wajah penasaran.
“Kalian
saja ke minimarket, aku mau nyobain jajan di kantin.” Kataku beralasan. Tapi untung
saja ketiga temanku tidak mencurigaiku macam-macam.
Di dalam
kantin aku dapat melihat Seno yang sedang membantu Ibunya melayani para
siswa-siswi yang membeli dagangannya.
“Satu
mangkok soto ya sama es teh manis.” Sahutku dengan nada ceria. Seno menoleh ke
arahku dengan wajah heran. Mungkin dia heran karena aku baru pertama kali jajan
di kantinnya. Lima menit kemudian, Seno sudah mengantarkan pesananku.
“Aku
benar-benar kaget seorang Silvia mau mampir ke kantin sini.” Kata Seno sambil
menyodorkan semangkok soto dan segelas es teh manis.
“Ah,
kamu ini apaan sih. Aku nggak boleh ya makan di sini, ya sudah.” Aku mulai
beranjak dari dudukku tapi Seno mencegahku untuk melanjutkan santapanku. Dia
menahanku dengan menarik lenganku.
“Dasar
sensitif!” gerutunya. Aku pun mulai melahap soto buatan bu Risma. Enak juga
batinku.
“Sudah
sana, kamu bantu Ibumu dulu. Aku bisa kok makan sendirian.”
“Oke,
tunggu sebentar ya.”
Di
tengah-tengah aku melahap sotoku. Tiba-tiba saja Rendi datang dan duduk di
sebelahku. Seperti biasa, lagi, lagi dia seperti orang yang nggak mau
kehilangan barangnya.
“Ngapain
sih kamu ke sini, Vi?” tanya Rendi dengan alis terangkat satu. Laki-laki ini
benar-benar menjengkelkan sekali.
“Apa
pedulimu?”tanyaku sinis.
“Hei,
aku orang paling care sama kamu, Vi. Ayo pergi dari sini. Biar aku
bayar makananmu itu. Dan kita cari makan di luar sekolah.”
“Kamu
bukan pacarku, Ren. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan.” Gerutuku sambil
melanjutkan makan soto yang hampir habis.
“Apa
karena laki-laki itu? kamu bersikap dingin seperti ini, Vi?”
“Nggak
ada hubungannya sama dia. Apa pernah aku mencoba memberimu harapan sebelumnya? Nggak
kan.” Kataku lalu beranjak dari dudukku membayar makanan dan minumanku lalu aku
segera menuju kelasku.
“Nanti
pulang sekolah, aku antar kamu pulang. Sampai ketemu nanti.” Kata Rendi lalu
pergi. Aish, anak itu keras kepala sekali. Aku benar-benar geram dengannya.
Ruang gerakku hampir tersita karena sikapnya yang begitu posesif sekali padaku.
***
Sepulang
sekolah, aku segera menghindar dari Rendi yang terus-terusan saja mencariku.
Hanya di toilet aku mampu bersembunyi dari laki-laki itu. Laki-laki posesif
yang super ambisius itu. selama setengah jam kemudian, suasana sekolah sudah
sepi lecuali anak-anak yang sedang mengikuti kegiatan ektrakurikuler. Aku mengendap-endap
keluar sekolah. Dan mampir kembali ke sebuah rumah tak begitu besar di dekat
sekolahan. Yap, rumah milik Seno.
Sudah hampir
tiga bulan semenjak aku bertemu dengan Seno. Aku dan Seno dekat. Tanpa ada satu
pun orang yang tahu kecuali Rendi. Karena dia dari awal yang sudah tahu aku
mengenal sosok Seno. Setiap habis pulang sekolah aku selalu mampir ke rumah
Seno dan setiap sore ikut berjualan gorengan bersama Seno berkeliling rumah
tetangga-tetangganya. Sehingga aku lebih akrab kini dengan bu Risma yang
sekarang lebih aku anggap dengan Ibu kandung sendiri. Sosoknya yang hangat
mampu membuatku merasa memiliki mama kembali.
“Ini,
besok datang ya ke acara ulang tahunku di rumah.” Aku menyodorkan sebuah
undangan minimalis ke Seno.
“Oh, jadi
kamu besok ulang tahun ya.”
“Iya,
datang ya.”
“Aku
usahakan ya.” Kata Seno sedikit lemas.
“Hei,
kamu harus datang karena aku udah mengundangmu secara langsung.”
“Kalau
aku tidak datang bagaimana?”
“Aku
akan marah sekali.”
Tepat pukul
tujuh malam, mang Mamad sudah menjemputku di depan rumah Seno. Aku segera
menuju rumahku, dan mempersiapkan perayaan ulang tahunku yang ke 17 tahun. Ulang
tahunku kali ini, aku akan menunjukkan kepada teman-temanku kalau Seno lah
sosok yang paling berarti. Dan sosok misterius yang selalu aku rahasiakan dari
teman-temanku. Semoga besok menjadi party paling mengesankan dalam sejarh
hidupku.
-bersambung...
0 comments:
Post a Comment