20 December 2014

Saat Hujan Memutar Kenangan Part 2



Sesampainya di depan gerbang rumah, aku segera turun dari sepeda milik Seno. Akhirnya aku kembali ke rumah, setelah sebelumnya aku mencoba menawarkan Seno untuk sekedar mampir ke rumah. Tapi Seno menolaknya dengan alasan akan membantu ibunya di rumah.

“Hati-hati ya.” Sahutku melihat Seno mulai mengayuh sepedanya. Seno hanya membalas dengan suara bell sepedanya.

Kring...kring...

Di dalam rumah, ternyata mang Mamad sudah menunggu di halaman dengan wajah cemas.

“Kemana aja non, kok nggak sms mamang kalau pulang diantar teman nanti kalau Papa tau, mamang yang kena omel.”

“Yang penting aku udah sampe rumah kan mang sebelum papa pulang.” Sahutku cuek, mang Mamad lalu diam tak berkomentar lagi.

Rumah yang begitu besar dan begitu nyaman tapi terasa dingin dan kaku. Rumah yang sudah hilang keceriaan semenjak mama meninggal lima tahun yang lalu. Dan papa sering menghabiskan waktunya di rumah sakit sebagai seorang dokter.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan mencari handphone-ku yang butuh cas saat ini. Aku mencari ke dalam saku bahkan dalam tas. Tidak ada.

“OMG, ketinggalan di rumah Seno.” Bisikku sambil merebahkan tubuhku di atas kasur. Lalu tanpa sadar mataku terpejam karena sudah mengantuk sekali.
***
“Semalam papa pulang jam berapa mang?” tanyaku sambil mengunyah sarapan roti berisi telur mata sapi kesukaanku yang dibuat oleh bi Sumi.

“Jam dua belas malam Non. Katanya banyak pasien yang butuh operasi.”

“Ada pesan dari papa nggak mang?”

“Kata Papa, non boleh minta hadiah apa saja besok ulang tahun.” Kata mang Mamad sambil menyetir mobil menuju ke sekolahan mengantarku.

Beginilah aku jarang sekali bertemu dengan papa. Pulang malam dan berangkat pun juga pagi-pagi sekali. Tapi sudahlah, sebagai anak aku mencoba berpikir secara dewasa saja. Daripada papa stres memikirkan kepergian mama. Ya, papa begitu terpukul saat sebuah operasi jantung gagal dijalani yang akhirnya harus membuat mama meninggal. Bagiku itu semua adalah takdir tapi papa menganggap dia-lah yang telah membunuh mama.

“Silvia!” panggil seseorang saat aku baru saja menginjakan kakiku di depan gerbang. Rendi bisikku dalam hati.

Rendi adalah siswa paling populer di sekolahan karena seabrek prestasi bidang olahraga selalu di raihnya. Wajahnya yang mirip artis Eza Gionino itu membuat hati para wanita mana pun akan termehek-mehek memohon balasan cinta darinya.

“Kamu kemana aja sih dari kemarin nggak bisa dihubungi, aku khawatir banget sama kamu. Apalagi kemarin aku nggak masuk sekolah karena ada pertandingan basket antar sekolah.” Kata Rendi dengan nada panik seperti orang yang takut kehilangan barangnya.

“Hei, kamu berlebihan banget kemarin aku...” belum sempat aku melanjutkan penjelasanku tiba-tiba Seno datang.

“Silvia, ini handphone kamu kemarin ketinggalan.” Kata Seno sambil tersenyum menyodorkan handphone lalu segera pergi menuju ke dalam kelas.

“Makasih ya.” Kataku sambil membalas senyumnya Seno.

“Sekarang aku nggak perlu lagi menjelaskan kemana aku kemarin. Lihat sendiri kan hp-ku mati.” Kataku cuek sambil segera meninggalkan Rendi yang masih melongo nggak jelas. Dia menarik lenganku.

“Ka...kamu kemarin sa...sama anak itu?” tanya Rendi yang sepertinya sangat terkejut sekali pagi ini melihat keakrabanku dengan Seno. Tapi aku hanya diam tak menyahut membiarkan Rendi terus merasa penasaran dengan berbagai macam pertanyaannya.

Aku melangkah ke dalam kelas, di sana sudah ada Yolanda, Resti dan Cindy. Seperti biasa Yolanda dengan aktifitas bercerminnya yang tiada mengenal waktu. Dia adalah temanku yang paling menor dalam segi berdandan, karena baginya penampilan nomor satu. Resti temanku yang paling nggak bisa berhenti dengan sms-an. Nggak tahu juga siapa saja dia sms yang pasti dia sangat senang meladeni siswa-siswa populer, tajir dan tampan di sekolah ini. sedangkan Cindy si kutu buku yang nggak bisa lepas dari yang namanya novel, setiap minggu dia harus membeli buku-buku novel. Tapi dia kutu buku gaul, yang tidak memakai kacamata tebal seperti di film-film, dia sangat anggun karena dia memakai soflens bening sebagai penyambung matanya yang sudah minus di atas dua.

“Hai, beb!” sapa Yolanda. Dia-lah temanku satu meja di kelas ini. Aku pun tersenyum melihat tingkahnya pagi ini. Karena salah satu alis matanya terlepas sedikit.

“Hei, kenapa kamu tertawa. Aku cantik kan pagi ini beb?”

“Lebih baik kamu bercermin deh. Ada bulu mata yang rontok tuh. Hahaha.” Kataku usil, lalu Yolanda buru-buru mengambil kacanya dan dia menjerit-jerit nggak karuan.

“Oh My God, ini benar-benar di luar kesadaranku! Padahal tadi pagi aku sempat berpapasan sama Riko. Astaga, dia akan ilfil melihat dandananku yang kacau hari ini.” katanya dengan intonasi super alay sambil merengut, dia segera membenahi bulu matanya itu.

“Eh, Vi. Kemarin Rendi sms aku tanyain kamu, katanya kemarin hp kamu nggak aktif.” Resti mulai membuka suara pagi ini.

“Iya, kemarin aku lupa cas dan kalian tau nggak kemarin aku hampir nggak bisa pulang tahu!” gerutuku membuat ketiga temanku mendadak memandangku.

“Terus-terus gimana? sori Vi kemarin aku buru-buru ke toko buku. Jadi aku nggak tahu kamu nggak ada yang jemput.” Kata Cindy seperti orang yang sedang menyesal.

“Iya, Beb. Kemarin aku dijemput sama Riko. Maaf ya sampai nggak tahu sahabatku ini kemarin hp-nya malah mati.” Sahut Yolanda dengan wajah cerianya.

“Sudahlah lupakan saja. Lagipula kemarin aku bertemu dengan seseorang.” Kataku sambil tersenyum membuat ketiga temanku tambah heboh. Oh, tidak aku keceplosan. Aku nggak mungkin bilang kan kalau seseorang itu adalah Seno. Anak bu kantin yang paling dijauhi di seantero sekolahan ini. Jangan sampai mereka tahu aku mengenalnya.

“Hei, kamu selingkuh ya?” tanya Resti dengan super kepo. Aku gelagapan dan bingung untuk menjelaskannya.”Nanti gimana sama Rendi?dia sudah setahun ini mendekatimu. Dan kamu malah mau dekat sama orang lain.”lanjut Resti dengan mimik kecewa.

“Bukan begitu Res. Jangan menuduhku yang tidak-tidak.” Aku mencoba membela diri.

“Vi, aku udah relain Rendi lo buat kamu. Emang sih, cintaku ke Rendi bertepuk sebelah tangan tapi sampe kamu nggak terima cintanya Rendi, aku ikut sakit hati lah. Biar gimana pun aku pengen Rendi bahagia.” Kata Resti panjang lebar, tapi syukurlah bel tanda masuk kelas berbunyi sehingga aku tak perlu lagi memperpanjang debat dengan Resti.

“Sudahlah, Res. Jangan terlalu dipermasalahkan.” Kata Cindy berusaha menenangkan hati Resti yang seperti orang kebakaran jenggot.

“Siapa sih beb seseorang yang kamu temui kemarin?”bisik Yolanda ingin tahu, tapi sedikit pun aku tak membuka suara tentang pertemuanku dengan Seno.

“Ada deh.” Sahutku sambil membuka buku pelajaran bahasa Indonesia, karena Bu Diana sudah masuk ke dalam kelas. Yolanda pasang muka cemberut mendengar jawabanku.

***
Bell pun berbunyi. Jam istirahat pun akhirnya tiba juga. Aku sedikit kegirangan karena sudah istirahat. Aku akan pergi ke kantin bu Risma. Langkahku terhenti ketika ketiga temanku menyadari aku akan pergi ke arah yang berbeda.

“Kamu mau kemana?” tanya Resti yang menyadari aku tidak mengikuti mereka bertiga.

“Kita kan biasanya istirahat beli cemilan di minimarket depan sekolah kok kamu ke arah kantin.” Tambah Cindy dengan wajah penasaran.

“Kalian saja ke minimarket, aku mau nyobain jajan di kantin.” Kataku beralasan. Tapi untung saja ketiga temanku tidak mencurigaiku macam-macam.

Di dalam kantin aku dapat melihat Seno yang sedang membantu Ibunya melayani para siswa-siswi yang membeli dagangannya.

“Satu mangkok soto ya sama es teh manis.” Sahutku dengan nada ceria. Seno menoleh ke arahku dengan wajah heran. Mungkin dia heran karena aku baru pertama kali jajan di kantinnya. Lima menit kemudian, Seno sudah mengantarkan pesananku.

“Aku benar-benar kaget seorang Silvia mau mampir ke kantin sini.” Kata Seno sambil menyodorkan semangkok soto dan segelas es teh manis.

“Ah, kamu ini apaan sih. Aku nggak boleh ya makan di sini, ya sudah.” Aku mulai beranjak dari dudukku tapi Seno mencegahku untuk melanjutkan santapanku. Dia menahanku dengan menarik lenganku.

“Dasar sensitif!” gerutunya. Aku pun mulai melahap soto buatan bu Risma. Enak juga batinku.

“Sudah sana, kamu bantu Ibumu dulu. Aku bisa kok makan sendirian.”

“Oke, tunggu sebentar ya.”

Di tengah-tengah aku melahap sotoku. Tiba-tiba saja Rendi datang dan duduk di sebelahku. Seperti biasa, lagi, lagi dia seperti orang yang nggak mau kehilangan barangnya.

“Ngapain sih kamu ke sini, Vi?” tanya Rendi dengan alis terangkat satu. Laki-laki ini benar-benar menjengkelkan sekali.

“Apa pedulimu?”tanyaku sinis.

“Hei, aku orang paling care  sama kamu, Vi. Ayo pergi dari sini. Biar aku bayar makananmu itu. Dan kita cari makan di luar sekolah.”

“Kamu bukan pacarku, Ren. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan.” Gerutuku sambil melanjutkan makan soto yang hampir habis.

“Apa karena laki-laki itu? kamu bersikap dingin seperti ini, Vi?”

“Nggak ada hubungannya sama dia. Apa pernah aku mencoba memberimu harapan sebelumnya? Nggak kan.” Kataku lalu beranjak dari dudukku membayar makanan dan minumanku lalu aku segera menuju kelasku.

“Nanti pulang sekolah, aku antar kamu pulang. Sampai ketemu nanti.” Kata Rendi lalu pergi. Aish, anak itu keras kepala sekali. Aku benar-benar geram dengannya. Ruang gerakku hampir tersita karena sikapnya yang begitu posesif sekali padaku.

***
Sepulang sekolah, aku segera menghindar dari Rendi yang terus-terusan saja mencariku. Hanya di toilet aku mampu bersembunyi dari laki-laki itu. Laki-laki posesif yang super ambisius itu. selama setengah jam kemudian, suasana sekolah sudah sepi lecuali anak-anak yang sedang mengikuti kegiatan ektrakurikuler. Aku mengendap-endap keluar sekolah. Dan mampir kembali ke sebuah rumah tak begitu besar di dekat sekolahan. Yap, rumah milik Seno.

Sudah hampir tiga bulan semenjak aku bertemu dengan Seno. Aku dan Seno dekat. Tanpa ada satu pun orang yang tahu kecuali Rendi. Karena dia dari awal yang sudah tahu aku mengenal sosok Seno. Setiap habis pulang sekolah aku selalu mampir ke rumah Seno dan setiap sore ikut berjualan gorengan bersama Seno berkeliling rumah tetangga-tetangganya. Sehingga aku lebih akrab kini dengan bu Risma yang sekarang lebih aku anggap dengan Ibu kandung sendiri. Sosoknya yang hangat mampu membuatku merasa memiliki mama kembali.

“Ini, besok datang ya ke acara ulang tahunku di rumah.” Aku menyodorkan sebuah undangan minimalis ke Seno.

“Oh, jadi kamu besok ulang tahun ya.”

“Iya, datang ya.”

“Aku usahakan ya.” Kata Seno sedikit lemas.

“Hei, kamu harus datang karena aku udah mengundangmu secara langsung.”

“Kalau aku tidak datang bagaimana?”

“Aku akan marah sekali.”

Tepat pukul tujuh malam, mang Mamad sudah menjemputku di depan rumah Seno. Aku segera menuju rumahku, dan mempersiapkan perayaan ulang tahunku yang ke 17 tahun. Ulang tahunku kali ini, aku akan menunjukkan kepada teman-temanku kalau Seno lah sosok yang paling berarti. Dan sosok misterius yang selalu aku rahasiakan dari teman-temanku. Semoga besok menjadi party paling mengesankan dalam sejarh hidupku.


-bersambung... 

0 comments:

Post a Comment