Oleh:
Lilih Putri Pratiwi
Dua
tahun berlalu semenjak Mirsya memilih untuk melanjutkan studinya di Australia.
Kisahku bersama Mirsya memang tetap berjalan meskipun kami menjalani pacaran
jauh jauh. Kita memutuskan tetap menjalin kasih meski jarak terlampau jauh memisahkan
antara kita berdua. Aku memang sayang dengan Mirsya. Namun, sebagai laki-laki
normal, aku membutuhkan sosok yang selalu dapat menemaniku saat ini. Sudah 4
tahun berjalan menjalani kisah bersama Mirsya, baru kali ini mempunyai pikiran
untuk mencari pengganti Mirsya. Sayangku untuk Mirsya perlahan memudar, mungkin
sudah terlalu lama, berjauhan dengannya.
walaupun komunikasi tetap lancar, namun ingin merasakan cinta yang lain sebagai
penghilang rasa kejenuhanku terhadap hubungan ini.
Semenjak jauh dari Mirsya, aku pun
juga berteman baik dengan Marsya. Dia adalah saudara kembar Mirsya. Sifatnya memang
sangat bertolak belakang dengan Mirsya, Mirsya gadis feminin yang anggun dan
kalem sedangkan Marsya si cewek tomboy bawel yang baik hati. Dia lebih memilih melanjutkan studinya tetap di Jogja, kita
juga satu kampus yang perlahan-lahan mulai mencuri perhatianku akhir-akhir ini.
Si cewek tomboy ini entah kenapa selalu membuatku merasa penasaran, apalagi dia
belum pernah yang namanya pacaran. Padahal teman-teman lelakinya lebih banyak
daripada teman wanitanya. Aku berencana akan mendekatinya, apalagi wajahnya
mirip sekali dengan Mirsya karena mereka memang kembar identik.
“Gue,
pengen ngerasain punya pacar, Bi.” Ucap Marsya sambil memonyongkan bibirnya.
Mendadak kopi susu yang baru saja aku minum, langsung menyembur keluar dari
mulutku, karena kaget mendengar ucapan Marsya kali ini.
“Jahat
banget sih lo Bi. Gue ngomong kayak gitu malah kayaknya kaget banget.” Sungut
Marsya.
“Gimana
nggak kaget, bukannya lo sendiri dulu
yang bilang lo belum mau pacaran sebelum lo lulus kuliah.” Kataku sambil
kembali meminum kopi yang sudah sedari tadi aku buat.
“I..iya
sih Bi. Tapi gue kan iri sama temen-temen gue. Emang sih gaya gue tomboy tapi
jujur hati gue bak putri salju banget. Setidaknya gue pengen tau, pacaran itu
gimana. Itu aja Bi?”
“Gimana
kalo lo nyoba ngerasain pacaran sama gue?” Aku mencoba menawarkan diri sebagai
objek pacar Marsya, dengan begini sekaligus dapat mendekati Marsya melebihi teman.
Memang ini ide gila.
“Lo,
gila kali Bi. Mana mungkin gue belajar pacaran sama lo, pacar sodara kembar
gue. Itu bukan ide yang bagus.” Sungut Marsya sambil mengunyah permen karet.
“Ya,
udah gue Cuma nawarin aja kok. Selama ini, bukannya lo nggak bisa percaya sama
ama yang namanya laki-laki selain sama gue kan, gue kan laki-laki setia selama
ini.” Marsya hanya terlihat terdiam sambil terus menguyah permen karet,
sepertinya dia masih memikirkan tawaran barusan.
Marsya ini orang yang parno banget sama
laki-laki. Karena banyak teman lelakinya yang sering curhat dengannya soal
pacar mereka. Menurut Marsya, laki-laki itu jahat karena hanya bisa membuat
hati wanita menangis. Marsya kerap sekali berkelahi dengan teman lelakinya
hanya karena temannya menyakiti hati kekasihnya. Bagi Marsya, hati wanita tak
layak untuk disakiti. Karena sekalipun wanita sayang dengan laki-laki itu
merupakan rasa sayang yang tulus dari hati.
“Udah,
nggak usah buang waktu lo buat banyak berpikir. Malam minggu besok kita jalan,
gue jemput lo jam 7 malem. Oke.” aku langsung ngeloyor pulang jalan kaki dengan
perasaan senang.
Rumahku dan Marsya berdekatan kok, karena memang kita tetanggaan.
Marsya masih nampak gugup, tapi aku tidak peduli. Aku bakal bikin Marsya bener-bener
jatuh cinta kali ini.
***
Sabtu siang sepulang dari kampus.
Marsya langsung buru-buru ngubek-ubek satu lemari pakaiannya. Ia nampak panik,
karena ia langsung mengernyitkan dahinya saat ia memandangi baju-bajunya yang
jauh dari kata feminin. Hanya lembaran-lembaran kaos oblong dan hem yang dia
punya dan celana skinny jeans. Marsya langsung mengutuk dirinya sendiri dalam
hati.
“Jangan sampai lo, jatuh cinta sama Abi. Inget, Abi pacar kembaran lo
sendiri.” Dengan langkah gontai, ia hanya mengambil hem kotak-kotak dan skinny
jeans warna gelap. Ia hanya merasa tak ada yang harus spesial untuk hari ini.
Sembari Marsya memandang foto Mirsya di sudut pojok meja belajarnya sambil
tersenyum. “Tenang, Mir. Gue nggak bakal rebut kekasih lo kok.”
***
Tepat pukul 7 malem, aku menyambangi
rumah Marsya. Aku juga nggak tahu pasti apakah Marsya terima ajakanku yang
semalam. Ya, hitung-hitung juga buat refreshing, jadi nggak ada salahnya juga.
Lagian, aku juga udah minta ijin sama Mirsya, kalo aku mau jalan-jalan sama
Marsya. Mirsya memang gadis yang baik, ia selalu memberikanku kebebasan disini.
Apalagi hanya sekedar jalan-jalan sama sodara kembarannya, tentu bukan sesuatu
hal yang patut dilarang sama Mirsya karena aku memang teman deket Marsya juga
sedari kecil.
“Malem,
Marsya.” Aku menyapa Marsya dan melihat Marsya sedang celingukan melihat jam
tangannya sedari tadi. Dan dia nampak kaget, kalo aku udah sampe tepat waktu di
rumahnya.
“Eh..lo
Bi.” Jawab Marsya datar, seakan ia tidak sedang menunggu Abi. Padahal ribuan
butir keringat terlihat telah membasahi wajah putihnya. Mungkinkah dia gugup
malam ini.
“Lo,
nunggu gue datang kan?” Godaku sambil tersenyum dan aku melihat gelagat salah
tingkah dari Marsya.
“Udah,
deh Bi. Jangan banyak tanya, yuk..ah kita keluar jalan sekarang.” Marsya
langsung menarik tanganku segera keluar dari halaman rumahnya.
Malam ini, aku bener-bener jalan
sama Marsya. Aku boncengan naik motor matic bersama Marsya. Tak biasanya juga Marsya
banyak diam selama perjalanan, padahal biasanya dia paling bawel, pasti ada
saja yang dia ceritakan. Selain cerita habis berantem sama temennya, paling
cerita soal dia terlambat masuk kelas terus dimarahin dosen. Tapi kali ini,
kayaknya yang harus banyak ngomong adalah aku.
“Marsya,
lo kenapa sih diem mulu?” tanyaku berusaha membuka pembicaraan.
“Nggak
papa, Bi. Gue kan pengen tau rasanya orang pacaran itu gimana? Emang gini ya
orang pacaran kalo boncengan pada diem-dieman gini?” Marsya terlihat masih lugu
sekali. Aku hanya terkekeh-kekeh mendengar pertanyaannya yang menurutku sangat
polos.
“Abi,
jangan ketawa deh.” Sungut Marsya sambil memukul pelan punggungku.
“Nih,
lo mau tau nggak, kalo orang pacaran waktu boncengan gimana?” gue langsung
menarik tangan Marsya sambil menggenggam tangannya erat. Terasa dingin sekali
tangannya. Langsung buru-buru Marsya menarik Tangannya kembali.
“Abi,
apaan sih?” lagi-lagi Marsya mendengus kesal.
“Katanya
lo mau privat sama gue. Gue bakal kasih tau lo. Gue nggak bakal ajarin lo yang
macem-macem kok. Janji.”
Kita menyusuri jalan di jogja selama
kurang lebih 1 jam. Perjalanan tanpa tujuan tadi berujung pada tempat penjual
jagung bakar di alun-alun. Marsya kebetulan sedang ingin makan jagung bakar.
Kali ini suasana mencair. Marsya sudah seperti biasa dengan gaya celotehannya
yang memang bikin kangen akhir-akhir ini. Dan nggak sengaja aku meraih tangan
Marsya dan kembali aku genggam erat. Dan bedanya, kali ini Marsya membiarkan
aku menggenggam tangannya tanpa perlu dia merasa aneh dan canggung.
“Bi,
hubungan lo sama Mirsya masih langgeng kan?” tanya Marsya dengan wajah penuh
tanda tanya.
“Masih
kok. Kita baik-baik saja.” Kataku sambil terus makan jagung bakar. Marsya hanya
tersenyum mendengar jawabanku.
Padahal dalam hati, hatiku udah nggak ada Mirsya
melainkan Marsya yang kini singgah di hati. Karena selama dua tahun jauh dari
Mirsya, membuatku terbiasa kehidupan dengan Marsya di sini. Gue segera
mengambil tisu dan membersihkan bibir Marsya karena belepotan sisa jagung
bakar. Mataku dan Marsya mendadak saling bertemu. Dan ini tambah meyakinkan
hatiku sendiri, kalo aku memang mulai sayang sama Marsya.
“Pulang
yuk, Bi.” Marsya memecah lamunanku. Marsya segera memalingkan wajahnya dan kembali
menarik tangannya yang sedari tadi aku genggam. Dan kita pun segera pulang
karena hari dirasa sudah mulai malam.
***
Semenjak kejadian itu, hubunganku
dengan Marsya menjadi makin dekat lebih dari biasanya dan sering menghabiskan
waktu bersama, kita juga sering ke kampus bersama. Banyak pertanyaan yang
datang dari teman-teman. Apalagi mereka tau, aku kekasih dari saudara kembar Marsya.
Mereka selalu menyudutkanku untuk tidak bermain api. Untuk menjauh dari Marsya
pun, aku rasa itu sudah terlambat. Aku terlanjur sayang sama Marsya, namun aku
juga tidak tahu gimana perasaan Marsya terhadapku.
“Lo,
jangan main api deh Bi.” Kata Lukman salah satu teman deket di kampus. Dialah
teman yang selalu menjadi tempat segudang curhatanku.
“Cepat
atau lambat, gue bakal bilang sama Marsya soal perasaan gue, Man.”
“Terus
pacar lo yang di Australi, mau lo kemanain apalagi dia itu sodara kembar
Marsya.”
“Gue,
yang akan tanggung ini semua.”Jawabku dengan penuh percaya diri walau aku sendiri
nggak yakin, Marsya juga sayang sama aku.
Hubunganku bersama Mirsya
akhir-akhir ini juga merenggang. Ditambah dengan rasa curiga Mirsya yang hebat membuat
kita sering bertengkar hebat di telpon. Aku semakin merasa ingin bergejolak
dari situasi ini dan semakin ingin melepas Mirsya. Marsya yang kini selalu aku
rindukan bahkan sehari tanpa melihatnya saja aku selalu mencemaskannya. Kali
ini aku berniat untuk menyatakan perasaanku ke Marsya. Besok pagi adalah hari
yang tepat untukku menyatakan perasaan ini.
***
“Gue,
sayang sama lo. Marsya, I love You.” Aku udah memberanikan diri buat menyatakan
perasaan. Aku nggak mau terlalu lama membohongi hati sendiri. Namun, tiba-tiba
justru terasa sakit kala Marsya tiba-tiba meneteskan airmata. Baru kali ini aku
melihat Marsya menangis. Secara spontan, aku langsung memeluk tubuh Marsya.
“Maaf,
Sya kalau gue lancang. Gue hanya menyatakan perasaan yang gue rasain sama lo
sekarang.”
“Nggak,
Bi. Lo, nggak salah. Gue hanya ngerasa salah sama Mirsya, telah mencintai
kekasihnya. Dan gue nggak seharusnya seperti ini” Marsya terus meneteskan
airmata, meski aku berusaha menenangkan hatinya dan menghapus airmata itu.
“Jadi,
seperti ini kalian berdua disini.” sesosok wanita yang tiba-tiba datang membawa
koper besar. Dan tidak lain itu adalah Mirsya. Mirsya telah memergoki
hubunganku bersama Marsya. Butir-butir lembut airmata juga menetes dari mata
Mirsya. Kali ini aku hanya terdiam, merasa bersalah. Sungguh, aku hanya bisa
mengutuk diriku sendiri yang tak tahu harus berbuat apa.
Mirsya tanpa berkata apa-apa lagi
langsung masuk ke dalam kamar, membiarkanku dan Marsya tetap berdiri seperti
orang penuh dosa yang tak terampuni. Keadaan menjadi hening. Rasanya aku hanya
ingin segera menyelesaikan masalah ini dengan Mirsya tanpa harus melibatkan
Marsya. Aku nggak ingin melihat mereka menangis karena masalah ini, aku
benar-benar laki-laki yang tak sepantasnya memperlakukan mereka seperti itu.
Sungguh mereka terlalu baik untukku. Namun, hatiku sudah memilih Marsya bukan
Mirsya.
Sudah tiga hari tiga malam, aku tak
menemui Marsya dan Mirsya. Aku mengerti dengan keadaan ini butuh waktu yang
tepat untuk menyelesaikan semuanya. Terkadang rinduku terhadap Marsya harus
kutahan dalam hati. Aku hanya tak ingin bertindak ceroboh yang akan membuat
masalah bertambah panjang. Mirsya juga tak menghubungiku, begitupun juga
denganku. Aku hanya membiarkan tiga hari ini sebagai waktu untuk menenangkan
hati dan pikiran.
“Kita
harus ketemu, hari ini dirumahku.” Pesan singkat BBM dari Mirsya, membuatku
semakin ingin sesegera mungkin untuk menemuinya saat ini juga. Aku segera
menyambangi rumah mereka. Disana terlihat Mirsya sedang duduk di sofa, wajahnya
terlihat berseri kembali. Tersenyum ke arahku. Namun, aku melihat Marsya hanya
terduduk lesu di samping Mirsya.
“Mungkin
gue yang sebaiknya mengalah buat kalian.” Mirsya mulai membuka pembicaraan
sambil menyatukan tanganku dengan tangan Marsya.
“Gue tau banget, selama ini
gue jauh dari lo Bi. Mungkin ini membuat kalian jadi terbiasa bersama.”
“Maafin,
gue Mirsya.” Hanya kata-kata ini yang dapat terucap dari bibirku. Aku melihat
Marsya dengan mata berkaca-kaca. Mirsya sepertinya sangat memahami keadaan ini,
meski pada awalnya kemarin, ia terlalu shock untuk menerima kenyataan yang
pasti telah mengiris perih hatinya. Maafin atas segala sikapku ini.
“Mulai
hari ini, sebelum gue balik ke Australi. Jaga Marsya baik-baik ya Bi. Gue
percaya kok sama lo.” Suasana pun kembali mencair, Marsya dan Mirsya
berpelukan. Aku pun bahagia dengan akhir yang bahagia ini, kali ini aku tidak
akan membuat hati wanita terluka kembali. Cukup kali ini aku menyakiti hati
Mirsya.
***
Hari ini Mirsya kembali ke
Australia. Aku dan Marsya turut mengantarkan kepergian Mirsya. Tak kusangka
Mirsya begitu baik dan sesegera mungkin menyatukan hatiku dengan Marsya. Marsya
terlihat begitu ceria pagi ini. Setelah mengantarkan Mirsya ke bandara, aku dan
Marsya pergi ke kampus bersama. Hari ini terasa berbeda, berbeda dengan hari
sebelumnya. Ada Marsya yang kini singgah di hati. Dalam hati, aku berkata “Mari
kita jalani hari bersama yang lebih indah.”
SELESAI
0 comments:
Post a Comment