1 November 2014

MARSYA, I LOVE YOU

Oleh:
Lilih Putri Pratiwi





Dua tahun berlalu semenjak Mirsya memilih untuk melanjutkan studinya di Australia. Kisahku bersama Mirsya memang tetap berjalan meskipun kami menjalani pacaran jauh jauh. Kita memutuskan tetap menjalin kasih meski jarak terlampau jauh memisahkan antara kita berdua. Aku memang sayang dengan Mirsya. Namun, sebagai laki-laki normal, aku membutuhkan sosok yang selalu dapat menemaniku saat ini. Sudah 4 tahun berjalan menjalani kisah bersama Mirsya, baru kali ini mempunyai pikiran untuk mencari pengganti Mirsya. Sayangku untuk Mirsya perlahan memudar, mungkin sudah terlalu lama,  berjauhan dengannya. walaupun komunikasi tetap lancar, namun ingin merasakan cinta yang lain sebagai penghilang rasa kejenuhanku terhadap hubungan ini.

Semenjak jauh dari Mirsya, aku pun juga berteman baik dengan Marsya. Dia adalah saudara kembar Mirsya. Sifatnya memang sangat bertolak belakang dengan Mirsya, Mirsya gadis feminin yang anggun dan kalem sedangkan Marsya si cewek tomboy bawel yang baik hati. Dia lebih  memilih melanjutkan studinya tetap di Jogja, kita juga satu kampus yang perlahan-lahan mulai mencuri perhatianku akhir-akhir ini. Si cewek tomboy ini entah kenapa selalu membuatku merasa penasaran, apalagi dia belum pernah yang namanya pacaran. Padahal teman-teman lelakinya lebih banyak daripada teman wanitanya. Aku berencana akan mendekatinya, apalagi wajahnya mirip sekali dengan Mirsya karena mereka memang kembar identik.

“Gue, pengen ngerasain punya pacar, Bi.” Ucap Marsya sambil memonyongkan bibirnya. Mendadak kopi susu yang baru saja aku minum, langsung menyembur keluar dari mulutku, karena kaget mendengar ucapan Marsya kali ini.

“Jahat banget sih lo Bi. Gue ngomong kayak gitu malah kayaknya kaget banget.” Sungut Marsya.

“Gimana nggak kaget, bukannya  lo sendiri dulu yang bilang lo belum mau pacaran sebelum lo lulus kuliah.” Kataku sambil kembali meminum kopi yang sudah sedari tadi aku buat.

“I..iya sih Bi. Tapi gue kan iri sama temen-temen gue. Emang sih gaya gue tomboy tapi jujur hati gue bak putri salju banget. Setidaknya gue pengen tau, pacaran itu gimana. Itu aja Bi?”

“Gimana kalo lo nyoba ngerasain pacaran sama gue?” Aku mencoba menawarkan diri sebagai objek pacar Marsya, dengan begini sekaligus dapat mendekati Marsya melebihi teman. Memang ini ide gila.

“Lo, gila kali Bi. Mana mungkin gue belajar pacaran sama lo, pacar sodara kembar gue. Itu bukan ide yang bagus.” Sungut Marsya sambil mengunyah permen karet.

“Ya, udah gue Cuma nawarin aja kok. Selama ini, bukannya lo nggak bisa percaya sama ama yang namanya laki-laki selain sama gue kan, gue kan laki-laki setia selama ini.” Marsya hanya terlihat terdiam sambil terus menguyah permen karet, sepertinya dia masih memikirkan tawaran barusan.

 Marsya ini orang yang parno banget sama laki-laki. Karena banyak teman lelakinya yang sering curhat dengannya soal pacar mereka. Menurut Marsya, laki-laki itu jahat karena hanya bisa membuat hati wanita menangis. Marsya kerap sekali berkelahi dengan teman lelakinya hanya karena temannya menyakiti hati kekasihnya. Bagi Marsya, hati wanita tak layak untuk disakiti. Karena sekalipun wanita sayang dengan laki-laki itu merupakan rasa sayang yang tulus dari hati.

“Udah, nggak usah buang waktu lo buat banyak berpikir. Malam minggu besok kita jalan, gue jemput lo jam 7 malem. Oke.” aku langsung ngeloyor pulang jalan kaki dengan perasaan senang. 

Rumahku dan Marsya berdekatan kok, karena memang kita tetanggaan. Marsya masih nampak gugup, tapi aku tidak peduli. Aku bakal bikin Marsya bener-bener jatuh cinta kali ini.
***
Sabtu siang sepulang dari kampus. Marsya langsung buru-buru ngubek-ubek satu lemari pakaiannya. Ia nampak panik, karena ia langsung mengernyitkan dahinya saat ia memandangi baju-bajunya yang jauh dari kata feminin. Hanya lembaran-lembaran kaos oblong dan hem yang dia punya dan celana skinny jeans. Marsya langsung mengutuk dirinya sendiri dalam hati.

 “Jangan sampai lo, jatuh cinta sama Abi. Inget, Abi pacar kembaran lo sendiri.” Dengan langkah gontai, ia hanya mengambil hem kotak-kotak dan skinny jeans warna gelap. Ia hanya merasa tak ada yang harus spesial untuk hari ini. Sembari Marsya memandang foto Mirsya di sudut pojok meja belajarnya sambil tersenyum. “Tenang, Mir. Gue nggak bakal rebut kekasih lo kok.”
***
Tepat pukul 7 malem, aku menyambangi rumah Marsya. Aku juga nggak tahu pasti apakah Marsya terima ajakanku yang semalam. Ya, hitung-hitung juga buat refreshing, jadi nggak ada salahnya juga. Lagian, aku juga udah minta ijin sama Mirsya, kalo aku mau jalan-jalan sama Marsya. Mirsya memang gadis yang baik, ia selalu memberikanku kebebasan disini. Apalagi hanya sekedar jalan-jalan sama sodara kembarannya, tentu bukan sesuatu hal yang patut dilarang sama Mirsya karena aku memang teman deket Marsya juga sedari kecil.

“Malem, Marsya.” Aku menyapa Marsya dan melihat Marsya sedang celingukan melihat jam tangannya sedari tadi. Dan dia nampak kaget, kalo aku udah sampe tepat waktu di rumahnya.

“Eh..lo Bi.” Jawab Marsya datar, seakan ia tidak sedang menunggu Abi. Padahal ribuan butir keringat terlihat telah membasahi wajah putihnya. Mungkinkah dia gugup malam ini.

“Lo, nunggu gue datang kan?” Godaku sambil tersenyum dan aku melihat gelagat salah tingkah dari Marsya.

“Udah, deh Bi. Jangan banyak tanya, yuk..ah kita keluar jalan sekarang.” Marsya langsung menarik tanganku segera keluar dari halaman rumahnya.

 Malam ini, aku bener-bener jalan sama Marsya. Aku boncengan naik motor matic  bersama Marsya. Tak biasanya juga Marsya banyak diam selama perjalanan, padahal biasanya dia paling bawel, pasti ada saja yang dia ceritakan. Selain cerita habis berantem sama temennya, paling cerita soal dia terlambat masuk kelas terus dimarahin dosen. Tapi kali ini, kayaknya yang harus banyak ngomong adalah aku.

“Marsya, lo kenapa sih diem mulu?” tanyaku berusaha membuka pembicaraan.

“Nggak papa, Bi. Gue kan pengen tau rasanya orang pacaran itu gimana? Emang gini ya orang pacaran kalo boncengan pada diem-dieman gini?” Marsya terlihat masih lugu sekali. Aku hanya terkekeh-kekeh mendengar pertanyaannya yang menurutku sangat polos.

“Abi, jangan ketawa deh.” Sungut Marsya sambil memukul pelan punggungku.

“Nih, lo mau tau nggak, kalo orang pacaran waktu boncengan gimana?” gue langsung menarik tangan Marsya sambil menggenggam tangannya erat. Terasa dingin sekali tangannya. Langsung buru-buru Marsya menarik Tangannya kembali.

“Abi, apaan sih?” lagi-lagi Marsya mendengus kesal.

“Katanya lo mau privat sama gue. Gue bakal kasih tau lo. Gue nggak bakal ajarin lo yang macem-macem kok. Janji.”

 Kita menyusuri jalan di jogja selama kurang lebih 1 jam. Perjalanan tanpa tujuan tadi berujung pada tempat penjual jagung bakar di alun-alun. Marsya kebetulan sedang ingin makan jagung bakar. Kali ini suasana mencair. Marsya sudah seperti biasa dengan gaya celotehannya yang memang bikin kangen akhir-akhir ini. Dan nggak sengaja aku meraih tangan Marsya dan kembali aku genggam erat. Dan bedanya, kali ini Marsya membiarkan aku menggenggam tangannya tanpa perlu dia merasa aneh dan canggung.

“Bi, hubungan lo sama Mirsya masih langgeng kan?” tanya Marsya dengan wajah penuh tanda tanya.

“Masih kok. Kita baik-baik saja.” Kataku sambil terus makan jagung bakar. Marsya hanya tersenyum mendengar jawabanku. 

Padahal dalam hati, hatiku udah nggak ada Mirsya melainkan Marsya yang kini singgah di hati. Karena selama dua tahun jauh dari Mirsya, membuatku terbiasa kehidupan dengan Marsya di sini. Gue segera mengambil tisu dan membersihkan bibir Marsya karena belepotan sisa jagung bakar. Mataku dan Marsya mendadak saling bertemu. Dan ini tambah meyakinkan hatiku sendiri, kalo aku memang mulai sayang sama Marsya.

“Pulang yuk, Bi.” Marsya memecah lamunanku. Marsya segera memalingkan wajahnya dan kembali menarik tangannya yang sedari tadi aku genggam. Dan kita pun segera pulang karena hari dirasa sudah mulai malam.
***
 Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Marsya menjadi makin dekat lebih dari biasanya dan sering menghabiskan waktu bersama, kita juga sering ke kampus bersama. Banyak pertanyaan yang datang dari teman-teman. Apalagi mereka tau, aku kekasih dari saudara kembar Marsya. Mereka selalu menyudutkanku untuk tidak bermain api. Untuk menjauh dari Marsya pun, aku rasa itu sudah terlambat. Aku terlanjur sayang sama Marsya, namun aku juga tidak tahu gimana perasaan Marsya terhadapku.

“Lo, jangan main api deh Bi.” Kata Lukman salah satu teman deket di kampus. Dialah teman yang selalu menjadi tempat segudang curhatanku.

“Cepat atau lambat, gue bakal bilang sama Marsya soal perasaan gue, Man.”

“Terus pacar lo yang di Australi, mau lo kemanain apalagi dia itu sodara kembar Marsya.”

“Gue, yang akan tanggung ini semua.”Jawabku dengan penuh percaya diri walau aku sendiri nggak yakin, Marsya juga sayang sama aku.

Hubunganku bersama Mirsya akhir-akhir ini juga merenggang. Ditambah dengan rasa curiga Mirsya yang hebat membuat kita sering bertengkar hebat di telpon. Aku semakin merasa ingin bergejolak dari situasi ini dan semakin ingin melepas Mirsya. Marsya yang kini selalu aku rindukan bahkan sehari tanpa melihatnya saja aku selalu mencemaskannya. Kali ini aku berniat untuk menyatakan perasaanku ke Marsya. Besok pagi adalah hari yang tepat untukku menyatakan perasaan ini.
***
“Gue, sayang sama lo. Marsya, I love You.” Aku udah memberanikan diri buat menyatakan perasaan. Aku nggak mau terlalu lama membohongi hati sendiri. Namun, tiba-tiba justru terasa sakit kala Marsya tiba-tiba meneteskan airmata. Baru kali ini aku melihat Marsya menangis. Secara spontan, aku langsung memeluk tubuh Marsya.

“Maaf, Sya kalau gue lancang. Gue hanya menyatakan perasaan yang gue rasain sama lo sekarang.”

“Nggak, Bi. Lo, nggak salah. Gue hanya ngerasa salah sama Mirsya, telah mencintai kekasihnya. Dan gue nggak seharusnya seperti ini” Marsya terus meneteskan airmata, meski aku berusaha menenangkan hatinya dan menghapus airmata itu.

“Jadi, seperti ini kalian berdua disini.” sesosok wanita yang tiba-tiba datang membawa koper besar. Dan tidak lain itu adalah Mirsya. Mirsya telah memergoki hubunganku bersama Marsya. Butir-butir lembut airmata juga menetes dari mata Mirsya. Kali ini aku hanya terdiam, merasa bersalah. Sungguh, aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri yang tak tahu harus berbuat apa.

 Mirsya tanpa berkata apa-apa lagi langsung masuk ke dalam kamar, membiarkanku dan Marsya tetap berdiri seperti orang penuh dosa yang tak terampuni. Keadaan menjadi hening. Rasanya aku hanya ingin segera menyelesaikan masalah ini dengan Mirsya tanpa harus melibatkan Marsya. Aku nggak ingin melihat mereka menangis karena masalah ini, aku benar-benar laki-laki yang tak sepantasnya memperlakukan mereka seperti itu. Sungguh mereka terlalu baik untukku. Namun, hatiku sudah memilih Marsya bukan Mirsya.

Sudah tiga hari tiga malam, aku tak menemui Marsya dan Mirsya. Aku mengerti dengan keadaan ini butuh waktu yang tepat untuk menyelesaikan semuanya. Terkadang rinduku terhadap Marsya harus kutahan dalam hati. Aku hanya tak ingin bertindak ceroboh yang akan membuat masalah bertambah panjang. Mirsya juga tak menghubungiku, begitupun juga denganku. Aku hanya membiarkan tiga hari ini sebagai waktu untuk menenangkan hati dan pikiran.

“Kita harus ketemu, hari ini dirumahku.” Pesan singkat BBM dari Mirsya, membuatku semakin ingin sesegera mungkin untuk menemuinya saat ini juga. Aku segera menyambangi rumah mereka. Disana terlihat Mirsya sedang duduk di sofa, wajahnya terlihat berseri kembali. Tersenyum ke arahku. Namun, aku melihat Marsya hanya terduduk lesu di samping Mirsya.

“Mungkin gue yang sebaiknya mengalah buat kalian.” Mirsya mulai membuka pembicaraan sambil menyatukan tanganku dengan tangan Marsya. 

“Gue tau banget, selama ini gue jauh dari lo Bi. Mungkin ini membuat kalian jadi terbiasa bersama.”

“Maafin, gue Mirsya.” Hanya kata-kata ini yang dapat terucap dari bibirku. Aku melihat Marsya dengan mata berkaca-kaca. Mirsya sepertinya sangat memahami keadaan ini, meski pada awalnya kemarin, ia terlalu shock untuk menerima kenyataan yang pasti telah mengiris perih hatinya. Maafin atas segala sikapku ini.

“Mulai hari ini, sebelum gue balik ke Australi. Jaga Marsya baik-baik ya Bi. Gue percaya kok sama lo.” Suasana pun kembali mencair, Marsya dan Mirsya berpelukan. Aku pun bahagia dengan akhir yang bahagia ini, kali ini aku tidak akan membuat hati wanita terluka kembali. Cukup kali ini aku menyakiti hati Mirsya.
***
 Hari ini Mirsya kembali ke Australia. Aku dan Marsya turut mengantarkan kepergian Mirsya. Tak kusangka Mirsya begitu baik dan sesegera mungkin menyatukan hatiku dengan Marsya. Marsya terlihat begitu ceria pagi ini. Setelah mengantarkan Mirsya ke bandara, aku dan Marsya pergi ke kampus bersama. Hari ini terasa berbeda, berbeda dengan hari sebelumnya. Ada Marsya yang kini singgah di hati. Dalam hati, aku berkata “Mari kita jalani hari bersama yang lebih indah.”

SELESAI

0 comments:

Post a Comment