Oleh:
Lilih
Putri Pratiwi
“Apa
itu?” sahutku sambil menunjuk sesuatu yang bercahaya, kecil dan terbang. Aneh
pikirku, karena sebelumnya aku belum pernah melihat ini di Jakarta, kali
pertamanya aku melihatnya saat aku pindah ke Jogja.
“Itu
kunang-kunang.” Jawab Bayu sambil berusaha menangkap yang disebutnya ‘kunang-kunang’
itu. Aku bergidik ngeri.
“Ah,
orang kota mana tahu hewan seperti ini.” Sahut Shinta yang sedikit memasang
wajah sebal ke arahku. Aku tak menggubrisnya, aku malah terfokus dengan sesuatu
yang bercahaya itu. Dan sudah berada di telapak tangan Bayu. Aku mencoba
menyentuhnya dengan telunjuk tanganku. Pelan-pelan. Di luar dugaan, Bayu malah
menyodorkan tangannya ke mukaku alhasil aku kaget dan terjengkang ke arah
belakang.
“Hahahahahahah...”
gelak tawa Shinta bak nenek sihir itu pun menggelegar suasana malam ini. Aku
mengusap punggungku, sedikit sakit. Sekali lagi, aku tak menggubris suara
Shinta yang memang menyebalkan itu.
Bayu
membantuku untuk segera berdiri. Aku tahu dia tak sengaja membuatku
terjengkang. Kunang-kunangnya lepas. Dan aku ternganga melihatnya terbang
kembali. Yang kudengar dari Bayu, kunang-kunang itu hewan kecil yang imut yang
di bagian tubuhnya menghasilkan cahaya seperti lampu. Biasanya anak-anak
menyebutnya sebagai kuku setan. Entah apa yang membuat mereka menyebutnya ‘kuku
setan’, tapi kunang-kunang bukan sesuatu yang mengerikan. Dan ia tidak seperti
setan sama sekali.
“Ayo,
ikut aku.” Ajak Bayu sambil menaiki sepedanya, tanpa pikir panjang aku segera menduduki
di bagian belakang sepeda Bayu. Dan segera Bayu melesat cepat meninggalkan
Shinta.
“Hei, kalian
tak boleh meninggalkanku!” Teriak Shinta sambil berlari dengan wajah muram. Aku
menjulurkan lidahku ke arah Shinta. Senang membuatnya begitu dongkol kali ini,
setelah beberapa kali aku mengalah atas perilakunya yang tak menyenangkan. Bayu
mengayuh sepedanya terlalu cepat hingga Shinta akhirnya mengalah untuk tak lagi
mengejar kami. Dengan menghentak-hentakkan kaki-kakinya dengan kesal. Aku hanya
tersenyum melihat tingkahnya.
“Kita
mau kemana?” tanyaku kepada Bayu.
“Ke
tempat dimana kau akan melihat banyak kuku setan.” Kata Bayu yang mungkin
sedang menggodaku. Aku mencengkram kaosnya erat-erat dan sedikit takut saat
menelusuri jalan sedikit remang-remang. Aku menutup mataku.
“Hei,
jangan tutup kedua matamu. Lihatlah!” sahut Bayu yang seakan tahu aku memang
sedang menutup mataku. Segera aku membuka kedua mataku. Kerlap kerlip bak lampu
kecil bertaburan di alam gelap, tepatnya di persawahan.
“Waw!”
pekikku merasa kagum dengan yang kulihat malam ini. Bayu tetap mengayuh
sepedanya tanpa berhenti. Pemandangan yang sama sekali belum pernah kulihat
selama ini.
“Indah
kan?disini masih banyak kunang-kunang apalagi di areal persawahan seperti ini.”
“Indah
dan benar-benar indah.” Kataku sambil terperangah melihatnya. Bayu menghentikah
kayuhannya. Ia menangkap satu ekor kunang-kunang. Kali ini aku beranikan diri
untuk menyentuhnya. Ini sama sekali tidak berbahaya. Bayu menaruh kunang-kunang
di telapak tanganku.
“Ini
tidak semenakutkan yang kau bayangkan.”
Aku sudah
menyentuh kunang-kunang ini. Tidak mengerikan seperti yang aku bayangkan, Dan
tidak juga menggigit. Aku masih terpesona dengan sosoknya, tubuhnya yang
mengeluarkan cahaya berwarna kuning seperti lampu 5 watt. Lucu dan
menggemaskan. Kali ini aku membiarkan kunang-kunang itu terbang dari telapak
tanganku. Membiarkan hewan itu menari-nari lagi bersama alam dan teman-temannya
“Mari
kita pulang.” Ajak Bayu, sedangkan aku masih menatap hamparan luas persawahan
yang masih dipenuhi kunang-kunang. Bayu tetap mengayuh sepedanya sampai
kunang-kunang itu tak lagi terlihat oleh kedua mataku. Malam yang begitu
menakjubkan bersama kunang-kunang.
-SELESAI-
0 comments:
Post a Comment