27 November 2014

Kunang-kunang

Oleh:
Lilih Putri Pratiwi




“Apa itu?” sahutku sambil menunjuk sesuatu yang bercahaya, kecil dan terbang. Aneh pikirku, karena sebelumnya aku belum pernah melihat ini di Jakarta, kali pertamanya aku melihatnya saat aku pindah ke Jogja.

“Itu kunang-kunang.” Jawab Bayu sambil berusaha menangkap yang disebutnya ‘kunang-kunang’ itu. Aku bergidik ngeri.

“Ah, orang kota mana tahu hewan seperti ini.” Sahut Shinta yang sedikit memasang wajah sebal ke arahku. Aku tak menggubrisnya, aku malah terfokus dengan sesuatu yang bercahaya itu. Dan sudah berada di telapak tangan Bayu. Aku mencoba menyentuhnya dengan telunjuk tanganku. Pelan-pelan. Di luar dugaan, Bayu malah menyodorkan tangannya ke mukaku alhasil aku kaget dan terjengkang ke arah belakang.

“Hahahahahahah...” gelak tawa Shinta bak nenek sihir itu pun menggelegar suasana malam ini. Aku mengusap punggungku, sedikit sakit. Sekali lagi, aku tak menggubris suara Shinta yang memang menyebalkan itu.

Bayu membantuku untuk segera berdiri. Aku tahu dia tak sengaja membuatku terjengkang. Kunang-kunangnya lepas. Dan aku ternganga melihatnya terbang kembali. Yang kudengar dari Bayu, kunang-kunang itu hewan kecil yang imut yang di bagian tubuhnya menghasilkan cahaya seperti lampu. Biasanya anak-anak menyebutnya sebagai kuku setan. Entah apa yang membuat mereka menyebutnya ‘kuku setan’, tapi kunang-kunang bukan sesuatu yang mengerikan. Dan ia tidak seperti setan sama sekali.

“Ayo, ikut aku.” Ajak Bayu sambil menaiki sepedanya, tanpa pikir panjang aku segera menduduki di bagian belakang sepeda Bayu. Dan segera Bayu melesat cepat meninggalkan Shinta.

“Hei, kalian tak boleh meninggalkanku!” Teriak Shinta sambil berlari dengan wajah muram. Aku menjulurkan lidahku ke arah Shinta. Senang membuatnya begitu dongkol kali ini, setelah beberapa kali aku mengalah atas perilakunya yang tak menyenangkan. Bayu mengayuh sepedanya terlalu cepat hingga Shinta akhirnya mengalah untuk tak lagi mengejar kami. Dengan menghentak-hentakkan kaki-kakinya dengan kesal. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

“Kita mau kemana?” tanyaku kepada Bayu.

“Ke tempat dimana kau akan melihat banyak kuku setan.” Kata Bayu yang mungkin sedang menggodaku. Aku mencengkram kaosnya erat-erat dan sedikit takut saat menelusuri jalan sedikit remang-remang. Aku menutup mataku.

“Hei, jangan tutup kedua matamu. Lihatlah!” sahut Bayu yang seakan tahu aku memang sedang menutup mataku. Segera aku membuka kedua mataku. Kerlap kerlip bak lampu kecil bertaburan di alam gelap, tepatnya di persawahan.

“Waw!” pekikku merasa kagum dengan yang kulihat malam ini. Bayu tetap mengayuh sepedanya tanpa berhenti. Pemandangan yang sama sekali belum pernah kulihat selama ini.

“Indah kan?disini masih banyak kunang-kunang apalagi di areal persawahan seperti ini.”

“Indah dan benar-benar indah.” Kataku sambil terperangah melihatnya. Bayu menghentikah kayuhannya. Ia menangkap satu ekor kunang-kunang. Kali ini aku beranikan diri untuk menyentuhnya. Ini sama sekali tidak berbahaya. Bayu menaruh kunang-kunang di telapak tanganku.

“Ini tidak semenakutkan yang kau bayangkan.”

Aku sudah menyentuh kunang-kunang ini. Tidak mengerikan seperti yang aku bayangkan, Dan tidak juga menggigit. Aku masih terpesona dengan sosoknya, tubuhnya yang mengeluarkan cahaya berwarna kuning seperti lampu 5 watt. Lucu dan menggemaskan. Kali ini aku membiarkan kunang-kunang itu terbang dari telapak tanganku. Membiarkan hewan itu menari-nari lagi bersama alam dan teman-temannya

“Mari kita pulang.” Ajak Bayu, sedangkan aku masih menatap hamparan luas persawahan yang masih dipenuhi kunang-kunang. Bayu tetap mengayuh sepedanya sampai kunang-kunang itu tak lagi terlihat oleh kedua mataku. Malam yang begitu menakjubkan bersama kunang-kunang.


-SELESAI-

0 comments:

Post a Comment