Pagi
ini rasanya malas sekali untuk pergi ke sekolah. Apalagi kalau nanti bertemu
dengan Rendi. Aku sudah tak sudi untuk melihatnya lagi. Dia benar-benar
laki-laki yang memaksakan kehendaknya sesuka hati. Aku melangkah gontai di
koridor sekolah, padahal harusnya pagi ini menjadi hari yang sangat ceria
untukku.
“Beb,
ada kado nih di laci kamu. Tapi nggak tahu dari siapa?” kata Yolanda sambil
memakai lipstik berwarna pink. Aku segera melihat isi dalam laciku. Benar
ternyata ada sebuah kotak persegi panjang berisi sebuah payung berwarna
pelangi. Dan satu ucapan kartu ulang tahun.
“Happy birthday, Silvia. Maaf aku nggak
bisa datang kemarin. Aku harap kamu suka kado sederhana dariku ini.”
-Seno-
Tanpa
pikir panjang lagi, aku segera berlari keluar kelas menuju kelas XI IPA 1. Di
sana pasti aku akan menemukanmu, Seno. Baru tiga langkah aku berlari, aku
melihat Seno. Wajahnya tampak lebam dan kuyu sekali dan beberapa perban
menempel pada siku dan lengannya. Tapi anehnya, saat dia melihatku dia langsung
menghindariku. Ada apa ini sebenarnya?
“Seno,
tunggu!” kataku sambil berlari kecil. Seno justru semakin berlari, jadilah kita
seperti orang main kejar-kejaran. Dan terhenti saat Seno tiba-tiba terjatuh.
Aku hendak menolongnya, tapi dia menepis tanganku.
“Kamu
kenapa No?” tanyaku bingung dengan perubahan sikap Seno.
“Sudahlah,
Vi. Jangan ganggu aku lagi.” Kata Seno sambil berusaha bangkit dari jatuh.
“Ada
apa memangnya? Aku punya salah apa?”
“Kamu
nggak punya salah apapun sama aku, tapi lebih baik kalau kita nggak usah lagi
saling ketemu.”
“Tapi
kenapa?” aku tercekat saat Seno memutuskan untuk tidak lagi saling bertemu. Aku
merasa ini bukan keinginan Seno. Aku yakin sekali ini bukan Seno biasanya yang
aku kenal.
“Karena
kita beda, Vi. Kita bagaikan bumi dan langit. Dan aku sadar diri akan hal itu.
Sudahlah, Vi aku mohon jangan ganggu aku lagi.” Kata Seno lalu meninggalkan aku
sendiri. Masih antara percaya dan tak percaya, Seno akan mengatakan hal itu. Aku
menghapus sedikit airmata yang keluar dan segera kembali ke dalam kelas
berharap nanti suasana hati kembali normal.
Sejak
saat itu, aku menuruti kemauan Seno walaupun sebenarnya sulit untuk
melakukannya. Seminggu setelah kejadian itu, aku tak pernah bertemu dengannya.
Mungkin juga karena Seno menghindariku, bahkan saat di kantin pun, Seno tak mau
lagi bertemu denganku. Tapi syukurlah, Bu Risma tetap baik padaku. Hingga suatu
kejadian di sekolah, aku tidak sengaja mendengar percakapan antara Rendi dan
Resti waktu aku akan ke toilet.
“Katanya
kamu sahabat Silvia, dan kamu akan bantu
aku untuk lebih dekat dengan dia, tapi apa buktinya? Silvia malah nolak dan jauhin
aku.” Kata Seno lantang, Resti hanya tertunduk seperti orang yang salah.
“Maaf,
Ren. Aku udah berusaha semampuku, tapi aku udah membantu sebisaku kan. Aku
selalu kasih tau kamu, tentang Silvia. Bukan salahku kalau dia suka yang lain.
Bukannya sekarang kamu juga senang, Seno udah menuruti katamu waktu itu.”
“Kenapa
sih aku harus saingan sama anak sialan itu, padahal juga gantengan aku, keren
juga aku. Dia Cuma cowok beruntung yang bisa mendapat perhatian Silvia lebih.”
Kata Rendi yang kembali sombong.
“Sekarang
tinggal kamu usaha lagi. Terserah kamu mau tetap maju apa mundur sekarang. Aku
mau masuk ke kelas dulu.” Sahut Resti sambil beranjak akan menuju kelas, tapi
dia seperti tertangkap basah karena melihatku dengan tatapan dingin.
“Jadi
semua ulah kalian?”tanyaku sinis. Rendi menoleh ke arahku berusaha memberikan
penjelasan. Sekarang aku menarik lengan Resti menjauhi Rendi untuk meminta
sebuah penjelasan.
“Maaf,
Vi. Aku Cuma mau Rendi bahagia itu aja.” Terang Resti berusaha tetap untuk
membela Rendi.
“Bahagia
katamu! Kamu selalu saja memikirkan cowok yang kamu sayang dan berharap dia bahagia,
tapi kamu nggak pernah mau tau gimana perasaan sahabat kamu ini. Terus apa kamu
bahagia?”
“Vi,
Rendi sayang banget sama kamu. Makanya aku berharap kamu bisa terima dia dan
membuat dia bahagia itu aja.”
“Emangnya
kamu siapa Res, yang bisa seenaknya saja menentukan kebahagiaan orang. Tapi aku
nggak pernah suka sama Rendi, Vi. Jangan paksa aku terus-terusan.”
“Jadi
bener gosip tentang kamu suka Seno. Kamu lebih pilih Seno daripada Rendi. Apa
hebatnya sih Seno sampe buat kamu buta? Semua orang di sekolah ini tahu, siapa
itu Seno?”
“Jangan
bawa-bawa Seno, Res. Ini masalah hanya menyangkut antara aku, kamu dan Rendi.
Sekarang aku mau tanya, lalu apa yang kalian lakukan ke Seno? Sampai dia jauhin
aku sekarang. Aku nggak pernah ya Res ganggu hubungan kamu sama siapapun.”
Wajah
Resti terlihat pucat, kali ini dia sudah tidak bisa berkelit dari kenyataan.
Dia terus saja aku sudutkan untuk meminta sebuah jawaban dan cerita kebenaran.
Resti menceritakan tragedi acara ulang tahun, kalau sebenarnya Seno datang ke ulang
tahunku, tapi di tengah jalan Seno di hadang Rendi dan terjadi perkelahian
antar mereka. Dan menyuruh Seno untuk menjauhiku, karena Rendi mengaku sebagai
kekasihku.
“Sial!”sahutku
mendengar cerita demi cerita dari Resti.
“Maaf,
Vi. Tapi aku nggak tahu kalau Seno sampai setega itu.”
Aku
sudah tak menghiraukan Resti lagi. Aku bingung harus bagaimana, dan aku sudah
malas berurusan dengan Rendi lagi. Aku harus menemui Seno tapi aku harus lebih
hati-hati lagi agar mereka tak mengusik hidup Seno lagi.
***
Keesokkan
harinya, terdengar kabar kalau Bapaknya Seno meninggal dunia. Aku meluangkan
waktu sebentar untuk pergi melayat. Di rumahnya aku hanya melihat Bu Risma yang
masih saja terisak sedih. Kulirik di sekitarku, teman-teman juga banyak yang
melayat. Aku tak melihat tanda-tanda adanya Seno. Harus kutahan rasa ini untuk
tak menemui Seno terlebih dahulu. Hubunganku dengan Resti juga merenggang dan
aku sangat kecewa atas sikapnya padaku kemarin.
Dua
hari kemudian, aku mencoba mencari Seno ke kelasnya. Tapi aku tak melihat
sosoknya. Sungguh sulit sekali bertemu dengan Seno. Siapa sih dia sampai
membuatku terus saja merasa gelisah saat aku harus jauh dengannya?
“Kamu
temannya Seno kan?” tanyaku kepada seorang cewek yang sedang duduk-duduk di
kelas Seno.
“Iya.”
“Liat
Seno nggak?”
“Umm,
loh bukannya hari ini dia mau pindah ya?” kata cewek itu menjelaskan. Aku
mendadak tergagu mendengar penjelasan kalau Seno mau pindah. Kenapa harus
pindah? Apa alasan Seno mau pindah? Tanpa berpamitan, aku segera menemui Bu
Risma di kantin berharap beliau ada di sana. Tapi ternyata kantinnya tutup. Aku
segera keluar sekolah menuju rumah Seno yang tidak jauh.
Aku melihat
Seno sedang packing semua
barang-barang yang ada di dalam rumahnya dibantu oleh Bu Risma. Seno menatapku,
kali ini dia tidak menghindariku.
“Kamu
mau kemana No?” tanyaku sambil berusaha meredam kesedihanku.
“Aku
mau pindah. Karena Bapak udah meninggal, jadi statusnya sebagai penjaga sekolah
sudah habis. Pihak sekolah memutuskan rumah ini akan ditempati oleh penjaga
sekolah yang baru. Pamanku akan menyekolahkan aku di Jogja, sedangkan Ibu akan
pulang kampung ke Madiun.” Seno mencoba tegar sambil sesekali memandangku
dengan sendu. Aku tahu pasti dia sangat sedih, tapi aku lebih sedih darinya.
“Kapan
kamu berangkat?”tanyaku sedih dan pasti terlihat raut wajahku yang sendu. Aku
melirik ke arah Bu Risma, dia tetap memberiku seuntai senyum kehangatan sebagai
seorang Ibu. Bagaimana mungkin aku harus kehilangan mereka berdua. Aku sayang
mereka, Tuhan. Jangan pisahkan aku dengan mereka. Bisikku dalam hati.
“Besok
siang kami berangkat.”kata Seno dengan tatapan sedih.
Bu
Risma datang mendekat padaku, tiba-tiba dia meraih tubuhku dalam dekapannya.
Aku menangis sejadinya karena Bu Risma yang selama ini sudah kuanggap sebagai
ibuku sendiri.
“Maafkan,
Ibu dan Seno ya nak kalau kami ada salah.” Kata Bu Risma mencoba menguatkan
hatiku.
“Ibu
dan Seno nggak punya salah sama Silvi. Silvi yang punya salah sama kalian kalau
mungkin selama ini Silvi selalu merepotkan kalian.”
“Nggak,
nak. Ibu senang kalau kamu mau jadi teman yang baik buat Seno selama berada di
sini. Jaga diri baik-baik ya, sekolah yang bener sampai lulus. Ibu selalu doain
kamu juga.”
Aku
sungguh terharu hari ini, betapa aku menyayangi mereka. Aku merasa mereka lah
yang paling memahamiku. Lalu Bu Risma tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi
selain hanya tergagu menahan airmata yang terus saja jatuh. Seno melihat kami
dengan tatapan sedih.
“Jaga
diri baik-baik ya. Payung yang kemarin harus di bawa terus apalagi ini musim
hujan. Jaga kesehatan dan jangan lupa cas Hp biar bisa hubungi mang mamad.” Kata
Seno banyak berpesan sambil mengusap rambutku lembut. Aku semakin tak kuasa
menahan rasa sedihku ini.
“Kamu
juga ya, jangan lupain aku.” Pintaku pada Seno sedikit memohon. Aku benar-benar
bingung untuk menyampaikan apalagi kepada Seno. Seno lalu memelukku.
“Iya,
Vi. Kamu percaya takdir kan?”
“Aku
percaya kok.”
“Kalau
kamu percaya, kalau kita memang ditakdirkan bersama suatu hari nanti, entah
kapanpun itu kita akan ditakdirkan bersama lagi.” Seno mencoba menghiburku tapi
entah kenapa ini cukup menguatkan hatiku saat ini. Setelah itu aku pun kembali
ke sekolah walau dengan perasaan sedih.
***
Hari
ini ujian matematika, keringat mulai bercucuran karena aku sudah gelisah ingin
keluar sebentar untuk melihat kepergian Seno. Untung saja aku sanggup
mengerjakannya lebih cepat dari biasanya sehingga aku bisa keluar terlebih
dahulu. Aku berlari secepat mungkin menelusuri koridor dengan kecepatan penuh
agar aku cepat sampai keluar dari gerbang sekolah. Saat aku keluar, sekitar dua
menit sebuah travel sudah berangkat. Aku berlari-lari mengejar travel itu.
“Seno!”
aku seperti orang gila yang tidak tahu malu, aku tak peduli dengan keadaan
sekelilingku. Aku ingin mengatakan sesuatu terlebih dahulu pada Seno. Tapi
sayang travel melaju dengan cepat sampai pada akhirnya aku pun terpeleset dan
travel menghilang di sebuah belokan.
“Silvia!”teriak
Yolanda yang ternyata mengejarku dari belakang. Dia segera memelukku dengan
erat, melihatku menangis. Resti dan Cindy juga datang menyusul dan mencoba
menenangkan hatiku.
“Jadi,
selama ini seseorang itu Seno?”tanya Yolanda dengan gelisah. Kali ini aku
mengakui karena aku sudah tak sanggup lagi berbohong kepada mereka. Aku hanya
mengangguk pelan sambil terisak isak menangis.
“Kenapa
kamu nggak bilang, Vi? Kenapa selama ini kamu tahan sendirian.”kata Cindy
sambil menghapus airmata dengan tangannya.
“Aku
takut kalian tidak akan setuju.” Kataku lirih, kulirik Resti merasa bersalah
sekali.
“Ya,
ampun Vi. Kita emang sahabat tapi aku nggak pernah ngatur soal cinta. Siapapun
yang kamu cinta itu hak kamu. Jadi, apa kamu udah bilang sama Seno kalo kamu
suka dia?” tanya Yolanda buru-buru. Aku hanya menggeleng lemah. Inilah
penyesalanku saat ini, tidak pernah mengatakan perasaanku. Mungkin benar kata
Seno kemarin, hanya takdir yang mampu aku andalkan saat ini.
“Maafin
aku, Vi.” Kata Resti yang sesenggukan menangis di depanku. Dia Merasa bersalah
atas perbuatannya kemarin, Tapi aku telah memaafkan dia, karena semua sudah
terjadi.
Aku masih
berharap pada takdir. Tuhan, mungkinkah aku akan bertemu dengan Seno suatu hari
nanti????
-bersambung...
0 comments:
Post a Comment