22 December 2014

Saat Hujan Memutar Kenangan Part 4



Pagi ini rasanya malas sekali untuk pergi ke sekolah. Apalagi kalau nanti bertemu dengan Rendi. Aku sudah tak sudi untuk melihatnya lagi. Dia benar-benar laki-laki yang memaksakan kehendaknya sesuka hati. Aku melangkah gontai di koridor sekolah, padahal harusnya pagi ini menjadi hari yang sangat ceria untukku.

“Beb, ada kado nih di laci kamu. Tapi nggak tahu dari siapa?” kata Yolanda sambil memakai lipstik berwarna pink. Aku segera melihat isi dalam laciku. Benar ternyata ada sebuah kotak persegi panjang berisi sebuah payung berwarna pelangi. Dan satu ucapan kartu ulang tahun.

“Happy birthday, Silvia. Maaf aku nggak bisa datang kemarin. Aku harap kamu suka kado sederhana dariku ini.”
-Seno-

Tanpa pikir panjang lagi, aku segera berlari keluar kelas menuju kelas XI IPA 1. Di sana pasti aku akan menemukanmu, Seno. Baru tiga langkah aku berlari, aku melihat Seno. Wajahnya tampak lebam dan kuyu sekali dan beberapa perban menempel pada siku dan lengannya. Tapi anehnya, saat dia melihatku dia langsung menghindariku. Ada apa ini sebenarnya?

“Seno, tunggu!” kataku sambil berlari kecil. Seno justru semakin berlari, jadilah kita seperti orang main kejar-kejaran. Dan terhenti saat Seno tiba-tiba terjatuh. Aku hendak menolongnya, tapi dia menepis tanganku.

“Kamu kenapa No?” tanyaku bingung dengan perubahan sikap Seno.

“Sudahlah, Vi. Jangan ganggu aku lagi.” Kata Seno sambil berusaha bangkit dari jatuh.

“Ada apa memangnya? Aku punya salah apa?”

“Kamu nggak punya salah apapun sama aku, tapi lebih baik kalau kita nggak usah lagi saling ketemu.”

“Tapi kenapa?” aku tercekat saat Seno memutuskan untuk tidak lagi saling bertemu. Aku merasa ini bukan keinginan Seno. Aku yakin sekali ini bukan Seno biasanya yang aku kenal.

“Karena kita beda, Vi. Kita bagaikan bumi dan langit. Dan aku sadar diri akan hal itu. Sudahlah, Vi aku mohon jangan ganggu aku lagi.” Kata Seno lalu meninggalkan aku sendiri. Masih antara percaya dan tak percaya, Seno akan mengatakan hal itu. Aku menghapus sedikit airmata yang keluar dan segera kembali ke dalam kelas berharap nanti suasana hati kembali normal.

Sejak saat itu, aku menuruti kemauan Seno walaupun sebenarnya sulit untuk melakukannya. Seminggu setelah kejadian itu, aku tak pernah bertemu dengannya. Mungkin juga karena Seno menghindariku, bahkan saat di kantin pun, Seno tak mau lagi bertemu denganku. Tapi syukurlah, Bu Risma tetap baik padaku. Hingga suatu kejadian di sekolah, aku tidak sengaja mendengar percakapan antara Rendi dan Resti waktu aku akan ke toilet.

“Katanya kamu sahabat Silvia,  dan kamu akan bantu aku untuk lebih dekat dengan dia, tapi apa buktinya? Silvia malah nolak dan jauhin aku.” Kata Seno lantang, Resti hanya tertunduk seperti orang yang salah.

“Maaf, Ren. Aku udah berusaha semampuku, tapi aku udah membantu sebisaku kan. Aku selalu kasih tau kamu, tentang Silvia. Bukan salahku kalau dia suka yang lain. Bukannya sekarang kamu juga senang, Seno udah menuruti katamu waktu itu.”

“Kenapa sih aku harus saingan sama anak sialan itu, padahal juga gantengan aku, keren juga aku. Dia Cuma cowok beruntung yang bisa mendapat perhatian Silvia lebih.” Kata Rendi yang kembali sombong.

“Sekarang tinggal kamu usaha lagi. Terserah kamu mau tetap maju apa mundur sekarang. Aku mau masuk ke kelas dulu.” Sahut Resti sambil beranjak akan menuju kelas, tapi dia seperti tertangkap basah karena melihatku dengan tatapan dingin.

“Jadi semua ulah kalian?”tanyaku sinis. Rendi menoleh ke arahku berusaha memberikan penjelasan. Sekarang aku menarik lengan Resti menjauhi Rendi untuk meminta sebuah penjelasan.

“Maaf, Vi. Aku Cuma mau Rendi bahagia itu aja.” Terang Resti berusaha tetap untuk membela Rendi.

“Bahagia katamu! Kamu selalu saja memikirkan cowok yang kamu sayang dan berharap dia bahagia, tapi kamu nggak pernah mau tau gimana perasaan sahabat kamu ini. Terus apa kamu bahagia?”

“Vi, Rendi sayang banget sama kamu. Makanya aku berharap kamu bisa terima dia dan membuat dia bahagia itu aja.”

“Emangnya kamu siapa Res, yang bisa seenaknya saja menentukan kebahagiaan orang. Tapi aku nggak pernah suka sama Rendi, Vi. Jangan paksa aku terus-terusan.”


“Jadi bener gosip tentang kamu suka Seno. Kamu lebih pilih Seno daripada Rendi. Apa hebatnya sih Seno sampe buat kamu buta? Semua orang di sekolah ini tahu, siapa itu Seno?”

“Jangan bawa-bawa Seno, Res. Ini masalah hanya menyangkut antara aku, kamu dan Rendi. Sekarang aku mau tanya, lalu apa yang kalian lakukan ke Seno? Sampai dia jauhin aku sekarang. Aku nggak pernah ya Res ganggu hubungan kamu sama siapapun.”

Wajah Resti terlihat pucat, kali ini dia sudah tidak bisa berkelit dari kenyataan. Dia terus saja aku sudutkan untuk meminta sebuah jawaban dan cerita kebenaran. Resti menceritakan tragedi acara ulang tahun, kalau sebenarnya Seno datang ke ulang tahunku, tapi di tengah jalan Seno di hadang Rendi dan terjadi perkelahian antar mereka. Dan menyuruh Seno untuk menjauhiku, karena Rendi mengaku sebagai kekasihku.
“Sial!”sahutku mendengar cerita demi cerita dari Resti.
“Maaf, Vi. Tapi aku nggak tahu kalau Seno sampai setega itu.”
Aku sudah tak menghiraukan Resti lagi. Aku bingung harus bagaimana, dan aku sudah malas berurusan dengan Rendi lagi. Aku harus menemui Seno tapi aku harus lebih hati-hati lagi agar mereka tak mengusik hidup Seno lagi.
***
Keesokkan harinya, terdengar kabar kalau Bapaknya Seno meninggal dunia. Aku meluangkan waktu sebentar untuk pergi melayat. Di rumahnya aku hanya melihat Bu Risma yang masih saja terisak sedih. Kulirik di sekitarku, teman-teman juga banyak yang melayat. Aku tak melihat tanda-tanda adanya Seno. Harus kutahan rasa ini untuk tak menemui Seno terlebih dahulu. Hubunganku dengan Resti juga merenggang dan aku sangat kecewa atas sikapnya padaku kemarin.

Dua hari kemudian, aku mencoba mencari Seno ke kelasnya. Tapi aku tak melihat sosoknya. Sungguh sulit sekali bertemu dengan Seno. Siapa sih dia sampai membuatku terus saja merasa gelisah saat aku harus jauh dengannya?

“Kamu temannya Seno kan?” tanyaku kepada seorang cewek yang sedang duduk-duduk di kelas Seno.

“Iya.”

“Liat Seno nggak?”

“Umm, loh bukannya hari ini dia mau pindah ya?” kata cewek itu menjelaskan. Aku mendadak tergagu mendengar penjelasan kalau Seno mau pindah. Kenapa harus pindah? Apa alasan Seno mau pindah? Tanpa berpamitan, aku segera menemui Bu Risma di kantin berharap beliau ada di sana. Tapi ternyata kantinnya tutup. Aku segera keluar sekolah menuju rumah Seno yang tidak jauh.

Aku melihat Seno sedang packing semua barang-barang yang ada di dalam rumahnya dibantu oleh Bu Risma. Seno menatapku, kali ini dia tidak menghindariku.

“Kamu mau kemana No?” tanyaku sambil berusaha meredam kesedihanku.

“Aku mau pindah. Karena Bapak udah meninggal, jadi statusnya sebagai penjaga sekolah sudah habis. Pihak sekolah memutuskan rumah ini akan ditempati oleh penjaga sekolah yang baru. Pamanku akan menyekolahkan aku di Jogja, sedangkan Ibu akan pulang kampung ke Madiun.” Seno mencoba tegar sambil sesekali memandangku dengan sendu. Aku tahu pasti dia sangat sedih, tapi aku lebih sedih darinya.

“Kapan kamu berangkat?”tanyaku sedih dan pasti terlihat raut wajahku yang sendu. Aku melirik ke arah Bu Risma, dia tetap memberiku seuntai senyum kehangatan sebagai seorang Ibu. Bagaimana mungkin aku harus kehilangan mereka berdua. Aku sayang mereka, Tuhan. Jangan pisahkan aku dengan mereka. Bisikku dalam hati.

“Besok siang kami berangkat.”kata Seno dengan tatapan sedih.

Bu Risma datang mendekat padaku, tiba-tiba dia meraih tubuhku dalam dekapannya. Aku menangis sejadinya karena Bu Risma yang selama ini sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.

“Maafkan, Ibu dan Seno ya nak kalau kami ada salah.” Kata Bu Risma mencoba menguatkan hatiku.

“Ibu dan Seno nggak punya salah sama Silvi. Silvi yang punya salah sama kalian kalau mungkin selama ini Silvi selalu merepotkan kalian.”

“Nggak, nak. Ibu senang kalau kamu mau jadi teman yang baik buat Seno selama berada di sini. Jaga diri baik-baik ya, sekolah yang bener sampai lulus. Ibu selalu doain kamu juga.”

Aku sungguh terharu hari ini, betapa aku menyayangi mereka. Aku merasa mereka lah yang paling memahamiku. Lalu Bu Risma tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi selain hanya tergagu menahan airmata yang terus saja jatuh. Seno melihat kami dengan tatapan sedih.

“Jaga diri baik-baik ya. Payung yang kemarin harus di bawa terus apalagi ini musim hujan. Jaga kesehatan dan jangan lupa cas Hp biar bisa hubungi mang mamad.” Kata Seno banyak berpesan sambil mengusap rambutku lembut. Aku semakin tak kuasa menahan rasa sedihku ini.

“Kamu juga ya, jangan lupain aku.” Pintaku pada Seno sedikit memohon. Aku benar-benar bingung untuk menyampaikan apalagi kepada Seno. Seno  lalu memelukku.

“Iya, Vi. Kamu percaya takdir kan?”

“Aku percaya kok.”

“Kalau kamu percaya, kalau kita memang ditakdirkan bersama suatu hari nanti, entah kapanpun itu kita akan ditakdirkan bersama lagi.” Seno mencoba menghiburku tapi entah kenapa ini cukup menguatkan hatiku saat ini. Setelah itu aku pun kembali ke sekolah walau dengan perasaan sedih.

***
Hari ini ujian matematika, keringat mulai bercucuran karena aku sudah gelisah ingin keluar sebentar untuk melihat kepergian Seno. Untung saja aku sanggup mengerjakannya lebih cepat dari biasanya sehingga aku bisa keluar terlebih dahulu. Aku berlari secepat mungkin menelusuri koridor dengan kecepatan penuh agar aku cepat sampai keluar dari gerbang sekolah. Saat aku keluar, sekitar dua menit sebuah travel sudah berangkat. Aku berlari-lari mengejar travel itu.

“Seno!” aku seperti orang gila yang tidak tahu malu, aku tak peduli dengan keadaan sekelilingku. Aku ingin mengatakan sesuatu terlebih dahulu pada Seno. Tapi sayang travel melaju dengan cepat sampai pada akhirnya aku pun terpeleset dan travel menghilang di sebuah belokan.

“Silvia!”teriak Yolanda yang ternyata mengejarku dari belakang. Dia segera memelukku dengan erat, melihatku menangis. Resti dan Cindy juga datang menyusul dan mencoba menenangkan hatiku.

“Jadi, selama ini seseorang itu Seno?”tanya Yolanda dengan gelisah. Kali ini aku mengakui karena aku sudah tak sanggup lagi berbohong kepada mereka. Aku hanya mengangguk pelan sambil terisak isak menangis.

“Kenapa kamu nggak bilang, Vi? Kenapa selama ini kamu tahan sendirian.”kata Cindy sambil menghapus airmata dengan tangannya.

“Aku takut kalian tidak akan setuju.” Kataku lirih, kulirik Resti merasa bersalah sekali.

“Ya, ampun Vi. Kita emang sahabat tapi aku nggak pernah ngatur soal cinta. Siapapun yang kamu cinta itu hak kamu. Jadi, apa kamu udah bilang sama Seno kalo kamu suka dia?” tanya Yolanda buru-buru. Aku hanya menggeleng lemah. Inilah penyesalanku saat ini, tidak pernah mengatakan perasaanku. Mungkin benar kata Seno kemarin, hanya takdir yang mampu aku andalkan saat ini.

“Maafin aku, Vi.” Kata Resti yang sesenggukan menangis di depanku. Dia Merasa bersalah atas perbuatannya kemarin, Tapi aku telah memaafkan dia, karena semua sudah terjadi.

Aku masih berharap pada takdir. Tuhan, mungkinkah aku akan bertemu dengan Seno suatu hari nanti????


-bersambung...

0 comments:

Post a Comment