Hai, para writers blog jumpa lagi ya sama aku, tapi kali ini postingannya udah beda dari postingan sebelumnya. Karena kalo sekarang sedang ingin mempromosikan produk aku sendiri. Pasti bertanya tanya kan apasih apasih? Taraaaaaattt....Makrame bag, yaps bagi sebagian orang mungkin udah nggak asing lagi yang namanya makrame bag. Itu tuh kerajinan tangan dari bahan dasar talikur, nah talikur itu sendiri dianyam di buat jadi sebuah produk tas handmade yang cantik. Biasanya nih, banyak nih para cewek-cewek muda pada ngomong dalam hati, ahh itu sih kaya emak emak banget. Eh, jangan salah dulu, tas makrame ini cocok buat anak muda juga loh guys.
Ya udah ah daripaa banyak basa basi yuk kepoin foto fotonya dulu aja laaah ......
Nah yang minat boleh kok chat wa 085743685614. Happy Shoping sista
27 January 2017
4 July 2015
Dear diary... Ramadhan malam 18...
Malam ini,
aku ingin sekali mencoba mengeluarkan sedikit rasa amarah dalam hati kecilku. Rasanya
ingin menangis, tak tahu salahku dimana?
Siang ini,
jam 11.00 WIB...
Aku datang
ke sebuah salah satu toko busana batik yang berada di kawasan malioboro, hari
ini aku datang karena ada panggilan tes wawancara. Awalnya aku semangat sekali
karena inilah yang aku idamkan sebelum aku lulus kuliah. Yaps, jadi desainer
itulah impianku.
Tepat pukul
11.00 aku diantar salah seorang karyawan toko menuju ruangan pihak personalia
yang akan melakukan test padaku. Aku dipersilahkan duduk, dengan sedikit canggung
aku pun masuk dan berusaha sesopan mungkin untuk segera duduk di kursi yang
sudah disediakan. Seorang wanita yang aku perkirakan lebih tua dariku, mencoba
membuka obrolan siang ini.
“mbak
lilih ya?” tanyanya beramah tamah.
“Iya”
jawabku lantang.
“maaf
mbak sebelumnya, saya mau bertanya kalau mbak Lilih diterima kerja di sini
kira-kira mbak mau tidak melepas jilbabnya, hanya saat waktu kerja saja kok.” Kata
mbak-mbak yang aku sendiri tidak tahu siapa namanya panjang lebar.
Sejenak
aku tergugu, nggak ngerti dan merasa ini seperti lelucon dan sebuah permintaan ,
yang tak ingin aku menurutinya. Walaupun emang ini pekerjaan yang menarik
untukku. Sedikit lama aku untuk menjawab pertanyaan mbak itu.
“maaf
mbak, kalau tidak lepas jilbab gimana?” tanyaku sambil sedikit merengek
berharap peraturan itu hanya formalitas saja tak perlu diterapkan.
“Maaf,
mbak ini sudah peraturan yang dibuat di sini. Gimana mbak mau tidak? Tapi nggak
perlu mbak jawab sekarang kok, nanti sambil dipikir-pikir lagi aja.”
Tercenung
dengan permintaan mbak itu, aku pun jadi tak berselera mengerjakan test-test
yang diberikan mbak itu. Semua jadi kacau, bahkan aku menjadi tak berniat lagi
untuk bekerja di sini. Aku percaya Allah akan menggantikan rejeki di tempat
lain, tanpa aku harus menanggalkan jilbabku di tempat kerja.
Aku sedih
malam ini bukan karena saja permintaan melepas jilbab di tempat kerja,
melainkan karena seseorang yang mengaku peduli denganku marah dengan
keputusanku yang tak ingin lanjut jikalau mendapat telepon konfirmasi di terima
bekerja. Apa salahku? Aku hanya manusia yang sedang berusaha selalu di jalan
Allah dan patuh pada ajaran agamaku. Miris sekali hati ini, setelah aku
membayangkan dia akan setuju dengan langkahku ini, tapi ternyata dia
menyudutkanku di tepi jurang. Beranggapan aku telah menyiakan kesempatan emas.
“emangnya
kamu pikir cari kerja itu gampang!!” suara lantang dari ujung telepon di
seberang sana.
Astagfiruloh,
mendengarnya saja hati menjadi merasa kelu sekali. Ini memang ujian dan
cobaanku. Di sini lah aku diuji ketakwaanku kepada Allah daripada menuruti
kemauan dan keegoisan dari seseorang yang menilaiku sebelah mata. Aku mencoba
menjelaskan alasanku dan orangtuaku yang tidak membolehkan melanjutkan di
tempat kerja itu. Dia semakin marah sejadinya, aku di bilang keras kepala lah,
tidak nurut lah sama nasehatnya sampai aku disuruh untuk instropeksi diri, aku
mencoba merenung apalagi yang harus aku renungkan, keputusan ini sudah bulat
aku ambil dan aku merasa benar dalam hal ini.
Sejenak
merenung kembali, apa aku salah dengan tindakanku ini? lalu, aku kembali
berpikir ulang, Allah akan lebih marah jika aku menuruti hawa nafsu saja,
menuruti untuk menanggalkan jilbab ini. Yaps, aku mengerti, aku tidak salah,
aku punya pedoman. Biarlah orang berkata apapun yang penting Allah sayang
padaku. Rejeki memang sudah ada yang mengatur, mungkin aku akan digantikan
tempat untuk mendulang rejeki yang lebih baik di mata Allah.
Jikalau
dia merasa tak terima dengan keputusanku ini, biarlah mungkin dia emang bukan
yang terbaik untuk hidupku ke depan.
Wassalam...
16 May 2015
Dear diary...
16 Mei 2015,
Selamat malam minggu dunia...
Ada kabar
apa hari ini? lama aku sudah tak menjentikan jemari bergoyang di atas keyboard, baru malam ini aku meluangkan
kesempatan untuk sekedar menceritakan
sedikit luka batin yang hampir menggerogoti seluruh hati. Aku ingin menyerah,
aku ingin mencampakkannya sampai aku tak melihatnya lagi, aku ingin tak peduli,
aku ingin membuangnya sebagai spam hati, aku ingin bahagia dengan seseorang
yang akan membahagiakanku nanti tapi aku tak menginginkan dia, bukan dia yang
aku cari selama ini. Aku tak ingin lebih, aku tak ingin harapan semu terus saja
menjalar dalam rongga batinku.
Dia hanya
laki-laki yang sering berbohong padaku, sering mengucap kata manis, sering
berakting penuh masalah besar, tapi nyatanya ah entahlah hanya dia dan Tuhan
yang tahu...
Hari ini
aku sedikit terbawa perasaan dan emosi kembali. Padahal jujur aku nggak mau
memiliki perasaan lebih lagi sejak peristiwa kemarin-kemarin. Aku masih selalu
ingat saat dia mencampakkan hatiku bagai racun yang masuk tak kunjung pergi. Aku
ingin menyudahinya sungguh aku ingin menyudahinya...
Tuan,
kau tahu bukan kesalahanmu padaku tak cukup hanya sekali...
Aku selalu
memaafkanmu dan kembali lagi padamu, jujur sejak kau ulangi lagi kesalahanmu
untuk yang ketiga kali, rasaku sedikit memudar dan aku tak yakin perasaanku
akan kembali subur seiring berjalannya waktu. Bukan salahku, ini murni bukan
salahku. Kaulah yang terlalu menyepelekan aku, kau anggap aku gadis bodoh yang
hanya mengagungkan atas nama cinta. Aku bukan gadis lugu berkacamata tebal
lagi, aku gadis yang sudah tumbuh dewasa dan memiliki beberapa pengalaman walau
tak banyak. Aku tak lagi gadis yang semata hanya mengagungkan atas nama cinta. Aku
tahu kenapa menjalin hubungan butuh logika tinggi, aku tahu alasannya karena
hanya mengandalkan perasaan saja hanya akan menikammu sendiri.
Tuhan...
Pertemukan
aku dengan seseorang yang memang ditakdirkan untukku, aku merasa hatiku telah
memberikan isyarat dia bukan jodoh yang terbaik untukku. Untuk apalagi aku
berharap dan untuk apalagi aku memohon agar dia tak pergi meninggalkanku. Perasaan
telah menguap seiring berjalannya waktu.
Maafkan
aku atas kepalsuan dan kebodohan ini, yang berkata aku masih begitu sayang
denganmu. Padahal jujur aku hampir tak merasakan perasaan apa-apa padamu lagi. Aku
hanya ingin menunjukkan kau seharusnya sadar, hati perempuan tak seharusnya kau
siakan kau dustakan. Kelak penyesalanmu tiada guna lagi.
Waktu yang
akan menjawabnya...
24 December 2014
Rasa Yang Tertinggal
Hei,
tuan apa kabarmu? Kulihat kau baik-baik saja dan bahagia dengan hidupmu. Lega melihatmu
lagi tanpa suatu kekurangan apapun. Sebuah pertemuan singkat kemarin menjadi
saksi tentang sebuah perasaan yang tak harus memiliki, perasaan yang harus di
tikam dengan paksa setiap kali aku ingin merasakannya. Menyembunyikannya dari
balik kebisuan dan lengkungan senyum yang tertahan dengan getir.
Terluka
itu pasti, tuan. Aku harus merelakanmu untuk menjadi milik orang lain. Dan membenamkan
perasaan sendiri untuk tak lagi berusaha untuk melabuhkan perasaan padamu. Kau bukan
yang dahulu lagi yang datang padaku untuk menemui kekasih hatimu. Aku tak lebih
dari wanita masalalu yang membebani hatimu.
Aku bahagia
melihatmu berada tepat di depanku kemarin tuan, bahagia melihatmu dengan
celotehanmu yang khas itu dan bahagia melihatmu berusaha membuatku bahagia
selama sehari. Namun, bahagiaku tak kubiarkan menyita perasaanku seluruhnya. Aku
menjaganya agar aku tak lagi berharap apapun padamu, tuan.
Terima kasih
tuan sudah menepati janjimu, sekarang pergilah. Pergilah dengan bebas tanpa ada
wanita yang suka kecentilan denganmu ini lagi, pergilah tanpa lagi ada wanita
yang jutek dan galak ini. Pergilah raih bahagiamu, jika memang itu membuatmu
bahagia, tuan.
22 December 2014
Saat Hujan Memutar Kenangan Part 5
Aku
menikmati sebuah lagu dari Lara Fabian Broken Vow dari daftar list Mp3 di
hp-ku. Hatiku masih terasa hampa sejak kepindahan Seno ke Jogja satu setengah
tahun yang lalu. Waktu begitu cepat berlalu. Hari ini adalah hari dimana hari
kelulusanku.
Tell me
her name
I want
to know
The way she looks
And
where you go
I need
to see her face
I need
to understand
Why you
and i came to an end
Tell me
again
I want
to hear
Who
broke my faith in all these years
Who
lays with you at night
When i’m
here all alone
Remembering
when i was your own
I let
You go
I let
you fly Why do i keep on asking why
I let
you go
Now
that i found
A way
to keep somehow
More
than a broken vow
Aku
menatap kepada sebuah pintu gerbang sekolah dengan sendu. Melihat seorang
wanita berdiri sambil sesekali memandang Hp-nya dengan kesal. Lalu seorang
laki-laki menghampiri sambil menawarkan sebuah payung.
“Non,
sudah sampai.” Tiba-tiba suara Mang Mamad membuyarkan lamunanku. Astaga
bisa-bisanya aku melamun, dan memikirkan sesuatu di masalalu.
“Oh,
i...iya mang.” Aku segera beranjak turun dari dalam mobil tapi tiba-tiba aku
merasakan sakit pada bagian pinggang. Aku sedikit membungkuk sambil terus
menahan rasa sakitku.
“Non,
kenapa non?”tanya Mang mamad panik melihatku membungkuk seperti orang
kesakitan.
“Nggak
papa, Mang, Nanti juga hilang kok.”
“Non, pasti kurang minum lagi kan. Papa sudah
bilang kan harus banyak minum.” Mang Mamad mencoba mengingatkan aku. Sepertinya
aku memang anak yang keras kepala. Tapi tiba-tiba sakit terasa sedikit hilang,
dan aku segera masuk ke dalam sekolah yang sudah ramai sekali.
Yolanda, Resti dan Cindy sudah
berjingkrak-jingkrak kegirangan karena melihat nama mereka dalam daftar
pengumuman siswa yang lulus. Aku segera melihatnya. Dan Alhamdulilah, namaku
menjadi salah satu daftar siswa dan siswi yang lulus. Silviana Anggraeni.
“Vi, akhirnya kita lulus!” Resti segera
memelukku di susul pula oleh Yolanda dan Cindy. Aku bahagia sekali hari ini
dapat merayakan kelulusan bersama teman-temanku yang lain.
***
“Hei,
Silvia!” seseorang telah mengangetkan aku, dia Puput teman satu kostku. saat
telingaku tersumpal headset menyanyikan suara merdu Lara Fabian, sambil
menikmati hujan yang terus saja turun dari pagi.
“Ya,
ampun Puput kamu nggak ketuk pintu dulu.” Sahutku dengan kesal. Puput langsung
saja melihat Hp-ku.
“Huh,
Lara Fabian - Broken Vow. Dari dulu lagumu itu-itu saja. Sudah hampir 4 tahun
kamu di Jogja, kamu belum juga move-on dari cinta pertama kamu.” Cerocos Puput
yang super cerewet itu.
“Aku
sudah berusaha melupakan kok.” Aku mencoba tak mengungkitnya kembali. Benar kata
Puput sudah empat tahun aku tinggal di Jogja, aku belum juga menemukan Seno.
“Iya,
sampai kamu bela-belain ke Jogja buat lanjutin kuliah dan bertemu dengan Seno.
Sudah empat tahun, Vi. Mungkin takdir berkata lain tentang kalian. Kamu bisa
membuka hatimu buat yang lain. Contohnya mas Dimas yang ganteng itu.”
“Tapi
aku harus ketemu Seno, Put. Aku mau menyampaikan sesuatu dulu sama dia.”
“Hei,
kalian ini sudah nggak ketemu udah lima tahun lebih. Bisa aja kan Seno udah
nikah sama wanita lain.” Kata Puput lalu menutup mulutnya. Aku hanya
mengernyitkan dahi, mungkin ada benarnya juga kata Puput. Tapi sekali lagi aku
tetap cuek dengan celotehannya.
Terkadang
aku ingin melupakan semua tentang Seno. Tapi hatiku masih kekeh untuk
menemukannya. Berharap takdir benar-benar berpihak padaku dan Seno.
“Mau
kemana, Vi?” tanya Puput yang melihatku beranjak dari dudukku. Sambil membawa
sebuah payung berwarna pelangi. Aku tersenyum melihat payungku yang masih
terjaga meski waktu terus saja berputar.
“Haha,
payung berwarna norak itu lagi yang kamu pakai, Vi.”
“Ini
payung spesial, Put. Nggak setiap orang punya kali. Sudah ah, aku pergi
jalan-jalan dulu menikmati suasana sore. Gerimis-gerimis jalan-jalan romantis.”
“Ah,
dasar lebay kamu.”
“Hahaha.”
Aku tertawa ceria sambil terus berjalan meninggalkan kost-ku. Tiba-tiba aku
melihat sebuah pelangi, dan tercenung sesaat.
“Kata orang saat pelangi muncul, orang yang
sudah tiada akan ada di atas pelangi itu untuk melihat keluarganya yang masih
hidup. Mungkin adikku saat ini juga sedang melihatku.”
Kata-kata
Seno saat itu masih saja terngiang-ngiang di dalam kepalaku. Sudah lima tahun
ini, aku tak pernah melihat pelangi. Seperti warna payungku ini. Aku
membayangkan kalau almarhum mama sedang melihatku dari atas pelangi.
Tuhan,
aku masih selalu percaya akan takdirmu. Biarkan aku bertemu dengannya. Aku
berjalan masih terus menatap sebuah pelangi itu. sampai tiba-tiba aku tak
melihat di depanku ada sebuah mobil lalu suara klakson mengagetkan aku.
Bruukk...
Aku
membiarkan tubuhku melayang bebas. Hantaman mobil itu membuatku terjatuh.
Gerimis membuat badanku seketika basah. Dan sedikit perih terasa pada tubuhku.
Seseorang menolongku dari dalam mobil. Wajah itu, wajah yang sudah tidak asing
lagi, semakin dekat wajah itu semakin jelas dan nyata. Lalu pandanganku mulai
kabur.
Benarkah dia???
Semoga ini bukanlah mimpi belaka saja.
-bersambung...
Saat Hujan Memutar Kenangan Part 4
Pagi
ini rasanya malas sekali untuk pergi ke sekolah. Apalagi kalau nanti bertemu
dengan Rendi. Aku sudah tak sudi untuk melihatnya lagi. Dia benar-benar
laki-laki yang memaksakan kehendaknya sesuka hati. Aku melangkah gontai di
koridor sekolah, padahal harusnya pagi ini menjadi hari yang sangat ceria
untukku.
“Beb,
ada kado nih di laci kamu. Tapi nggak tahu dari siapa?” kata Yolanda sambil
memakai lipstik berwarna pink. Aku segera melihat isi dalam laciku. Benar
ternyata ada sebuah kotak persegi panjang berisi sebuah payung berwarna
pelangi. Dan satu ucapan kartu ulang tahun.
“Happy birthday, Silvia. Maaf aku nggak
bisa datang kemarin. Aku harap kamu suka kado sederhana dariku ini.”
-Seno-
Tanpa
pikir panjang lagi, aku segera berlari keluar kelas menuju kelas XI IPA 1. Di
sana pasti aku akan menemukanmu, Seno. Baru tiga langkah aku berlari, aku
melihat Seno. Wajahnya tampak lebam dan kuyu sekali dan beberapa perban
menempel pada siku dan lengannya. Tapi anehnya, saat dia melihatku dia langsung
menghindariku. Ada apa ini sebenarnya?
“Seno,
tunggu!” kataku sambil berlari kecil. Seno justru semakin berlari, jadilah kita
seperti orang main kejar-kejaran. Dan terhenti saat Seno tiba-tiba terjatuh.
Aku hendak menolongnya, tapi dia menepis tanganku.
“Kamu
kenapa No?” tanyaku bingung dengan perubahan sikap Seno.
“Sudahlah,
Vi. Jangan ganggu aku lagi.” Kata Seno sambil berusaha bangkit dari jatuh.
“Ada
apa memangnya? Aku punya salah apa?”
“Kamu
nggak punya salah apapun sama aku, tapi lebih baik kalau kita nggak usah lagi
saling ketemu.”
“Tapi
kenapa?” aku tercekat saat Seno memutuskan untuk tidak lagi saling bertemu. Aku
merasa ini bukan keinginan Seno. Aku yakin sekali ini bukan Seno biasanya yang
aku kenal.
“Karena
kita beda, Vi. Kita bagaikan bumi dan langit. Dan aku sadar diri akan hal itu.
Sudahlah, Vi aku mohon jangan ganggu aku lagi.” Kata Seno lalu meninggalkan aku
sendiri. Masih antara percaya dan tak percaya, Seno akan mengatakan hal itu. Aku
menghapus sedikit airmata yang keluar dan segera kembali ke dalam kelas
berharap nanti suasana hati kembali normal.
Sejak
saat itu, aku menuruti kemauan Seno walaupun sebenarnya sulit untuk
melakukannya. Seminggu setelah kejadian itu, aku tak pernah bertemu dengannya.
Mungkin juga karena Seno menghindariku, bahkan saat di kantin pun, Seno tak mau
lagi bertemu denganku. Tapi syukurlah, Bu Risma tetap baik padaku. Hingga suatu
kejadian di sekolah, aku tidak sengaja mendengar percakapan antara Rendi dan
Resti waktu aku akan ke toilet.
“Katanya
kamu sahabat Silvia, dan kamu akan bantu
aku untuk lebih dekat dengan dia, tapi apa buktinya? Silvia malah nolak dan jauhin
aku.” Kata Seno lantang, Resti hanya tertunduk seperti orang yang salah.
“Maaf,
Ren. Aku udah berusaha semampuku, tapi aku udah membantu sebisaku kan. Aku
selalu kasih tau kamu, tentang Silvia. Bukan salahku kalau dia suka yang lain.
Bukannya sekarang kamu juga senang, Seno udah menuruti katamu waktu itu.”
“Kenapa
sih aku harus saingan sama anak sialan itu, padahal juga gantengan aku, keren
juga aku. Dia Cuma cowok beruntung yang bisa mendapat perhatian Silvia lebih.”
Kata Rendi yang kembali sombong.
“Sekarang
tinggal kamu usaha lagi. Terserah kamu mau tetap maju apa mundur sekarang. Aku
mau masuk ke kelas dulu.” Sahut Resti sambil beranjak akan menuju kelas, tapi
dia seperti tertangkap basah karena melihatku dengan tatapan dingin.
“Jadi
semua ulah kalian?”tanyaku sinis. Rendi menoleh ke arahku berusaha memberikan
penjelasan. Sekarang aku menarik lengan Resti menjauhi Rendi untuk meminta
sebuah penjelasan.
“Maaf,
Vi. Aku Cuma mau Rendi bahagia itu aja.” Terang Resti berusaha tetap untuk
membela Rendi.
“Bahagia
katamu! Kamu selalu saja memikirkan cowok yang kamu sayang dan berharap dia bahagia,
tapi kamu nggak pernah mau tau gimana perasaan sahabat kamu ini. Terus apa kamu
bahagia?”
“Vi,
Rendi sayang banget sama kamu. Makanya aku berharap kamu bisa terima dia dan
membuat dia bahagia itu aja.”
“Emangnya
kamu siapa Res, yang bisa seenaknya saja menentukan kebahagiaan orang. Tapi aku
nggak pernah suka sama Rendi, Vi. Jangan paksa aku terus-terusan.”
“Jadi
bener gosip tentang kamu suka Seno. Kamu lebih pilih Seno daripada Rendi. Apa
hebatnya sih Seno sampe buat kamu buta? Semua orang di sekolah ini tahu, siapa
itu Seno?”
“Jangan
bawa-bawa Seno, Res. Ini masalah hanya menyangkut antara aku, kamu dan Rendi.
Sekarang aku mau tanya, lalu apa yang kalian lakukan ke Seno? Sampai dia jauhin
aku sekarang. Aku nggak pernah ya Res ganggu hubungan kamu sama siapapun.”
Wajah
Resti terlihat pucat, kali ini dia sudah tidak bisa berkelit dari kenyataan.
Dia terus saja aku sudutkan untuk meminta sebuah jawaban dan cerita kebenaran.
Resti menceritakan tragedi acara ulang tahun, kalau sebenarnya Seno datang ke ulang
tahunku, tapi di tengah jalan Seno di hadang Rendi dan terjadi perkelahian
antar mereka. Dan menyuruh Seno untuk menjauhiku, karena Rendi mengaku sebagai
kekasihku.
“Sial!”sahutku
mendengar cerita demi cerita dari Resti.
“Maaf,
Vi. Tapi aku nggak tahu kalau Seno sampai setega itu.”
Aku
sudah tak menghiraukan Resti lagi. Aku bingung harus bagaimana, dan aku sudah
malas berurusan dengan Rendi lagi. Aku harus menemui Seno tapi aku harus lebih
hati-hati lagi agar mereka tak mengusik hidup Seno lagi.
***
Keesokkan
harinya, terdengar kabar kalau Bapaknya Seno meninggal dunia. Aku meluangkan
waktu sebentar untuk pergi melayat. Di rumahnya aku hanya melihat Bu Risma yang
masih saja terisak sedih. Kulirik di sekitarku, teman-teman juga banyak yang
melayat. Aku tak melihat tanda-tanda adanya Seno. Harus kutahan rasa ini untuk
tak menemui Seno terlebih dahulu. Hubunganku dengan Resti juga merenggang dan
aku sangat kecewa atas sikapnya padaku kemarin.
Dua
hari kemudian, aku mencoba mencari Seno ke kelasnya. Tapi aku tak melihat
sosoknya. Sungguh sulit sekali bertemu dengan Seno. Siapa sih dia sampai
membuatku terus saja merasa gelisah saat aku harus jauh dengannya?
“Kamu
temannya Seno kan?” tanyaku kepada seorang cewek yang sedang duduk-duduk di
kelas Seno.
“Iya.”
“Liat
Seno nggak?”
“Umm,
loh bukannya hari ini dia mau pindah ya?” kata cewek itu menjelaskan. Aku
mendadak tergagu mendengar penjelasan kalau Seno mau pindah. Kenapa harus
pindah? Apa alasan Seno mau pindah? Tanpa berpamitan, aku segera menemui Bu
Risma di kantin berharap beliau ada di sana. Tapi ternyata kantinnya tutup. Aku
segera keluar sekolah menuju rumah Seno yang tidak jauh.
Aku melihat
Seno sedang packing semua
barang-barang yang ada di dalam rumahnya dibantu oleh Bu Risma. Seno menatapku,
kali ini dia tidak menghindariku.
“Kamu
mau kemana No?” tanyaku sambil berusaha meredam kesedihanku.
“Aku
mau pindah. Karena Bapak udah meninggal, jadi statusnya sebagai penjaga sekolah
sudah habis. Pihak sekolah memutuskan rumah ini akan ditempati oleh penjaga
sekolah yang baru. Pamanku akan menyekolahkan aku di Jogja, sedangkan Ibu akan
pulang kampung ke Madiun.” Seno mencoba tegar sambil sesekali memandangku
dengan sendu. Aku tahu pasti dia sangat sedih, tapi aku lebih sedih darinya.
“Kapan
kamu berangkat?”tanyaku sedih dan pasti terlihat raut wajahku yang sendu. Aku
melirik ke arah Bu Risma, dia tetap memberiku seuntai senyum kehangatan sebagai
seorang Ibu. Bagaimana mungkin aku harus kehilangan mereka berdua. Aku sayang
mereka, Tuhan. Jangan pisahkan aku dengan mereka. Bisikku dalam hati.
“Besok
siang kami berangkat.”kata Seno dengan tatapan sedih.
Bu
Risma datang mendekat padaku, tiba-tiba dia meraih tubuhku dalam dekapannya.
Aku menangis sejadinya karena Bu Risma yang selama ini sudah kuanggap sebagai
ibuku sendiri.
“Maafkan,
Ibu dan Seno ya nak kalau kami ada salah.” Kata Bu Risma mencoba menguatkan
hatiku.
“Ibu
dan Seno nggak punya salah sama Silvi. Silvi yang punya salah sama kalian kalau
mungkin selama ini Silvi selalu merepotkan kalian.”
“Nggak,
nak. Ibu senang kalau kamu mau jadi teman yang baik buat Seno selama berada di
sini. Jaga diri baik-baik ya, sekolah yang bener sampai lulus. Ibu selalu doain
kamu juga.”
Aku
sungguh terharu hari ini, betapa aku menyayangi mereka. Aku merasa mereka lah
yang paling memahamiku. Lalu Bu Risma tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi
selain hanya tergagu menahan airmata yang terus saja jatuh. Seno melihat kami
dengan tatapan sedih.
“Jaga
diri baik-baik ya. Payung yang kemarin harus di bawa terus apalagi ini musim
hujan. Jaga kesehatan dan jangan lupa cas Hp biar bisa hubungi mang mamad.” Kata
Seno banyak berpesan sambil mengusap rambutku lembut. Aku semakin tak kuasa
menahan rasa sedihku ini.
“Kamu
juga ya, jangan lupain aku.” Pintaku pada Seno sedikit memohon. Aku benar-benar
bingung untuk menyampaikan apalagi kepada Seno. Seno lalu memelukku.
“Iya,
Vi. Kamu percaya takdir kan?”
“Aku
percaya kok.”
“Kalau
kamu percaya, kalau kita memang ditakdirkan bersama suatu hari nanti, entah
kapanpun itu kita akan ditakdirkan bersama lagi.” Seno mencoba menghiburku tapi
entah kenapa ini cukup menguatkan hatiku saat ini. Setelah itu aku pun kembali
ke sekolah walau dengan perasaan sedih.
***
Hari
ini ujian matematika, keringat mulai bercucuran karena aku sudah gelisah ingin
keluar sebentar untuk melihat kepergian Seno. Untung saja aku sanggup
mengerjakannya lebih cepat dari biasanya sehingga aku bisa keluar terlebih
dahulu. Aku berlari secepat mungkin menelusuri koridor dengan kecepatan penuh
agar aku cepat sampai keluar dari gerbang sekolah. Saat aku keluar, sekitar dua
menit sebuah travel sudah berangkat. Aku berlari-lari mengejar travel itu.
“Seno!”
aku seperti orang gila yang tidak tahu malu, aku tak peduli dengan keadaan
sekelilingku. Aku ingin mengatakan sesuatu terlebih dahulu pada Seno. Tapi
sayang travel melaju dengan cepat sampai pada akhirnya aku pun terpeleset dan
travel menghilang di sebuah belokan.
“Silvia!”teriak
Yolanda yang ternyata mengejarku dari belakang. Dia segera memelukku dengan
erat, melihatku menangis. Resti dan Cindy juga datang menyusul dan mencoba
menenangkan hatiku.
“Jadi,
selama ini seseorang itu Seno?”tanya Yolanda dengan gelisah. Kali ini aku
mengakui karena aku sudah tak sanggup lagi berbohong kepada mereka. Aku hanya
mengangguk pelan sambil terisak isak menangis.
“Kenapa
kamu nggak bilang, Vi? Kenapa selama ini kamu tahan sendirian.”kata Cindy
sambil menghapus airmata dengan tangannya.
“Aku
takut kalian tidak akan setuju.” Kataku lirih, kulirik Resti merasa bersalah
sekali.
“Ya,
ampun Vi. Kita emang sahabat tapi aku nggak pernah ngatur soal cinta. Siapapun
yang kamu cinta itu hak kamu. Jadi, apa kamu udah bilang sama Seno kalo kamu
suka dia?” tanya Yolanda buru-buru. Aku hanya menggeleng lemah. Inilah
penyesalanku saat ini, tidak pernah mengatakan perasaanku. Mungkin benar kata
Seno kemarin, hanya takdir yang mampu aku andalkan saat ini.
“Maafin
aku, Vi.” Kata Resti yang sesenggukan menangis di depanku. Dia Merasa bersalah
atas perbuatannya kemarin, Tapi aku telah memaafkan dia, karena semua sudah
terjadi.
Aku masih
berharap pada takdir. Tuhan, mungkinkah aku akan bertemu dengan Seno suatu hari
nanti????
-bersambung...
21 December 2014
Saat Hujan Memutar Kenangan Part 3
“Silvia!”
panggil Seno saat aku hendak membuka pintu mobil, aku menoleh ke arahnya. Dan
dia menarik tanganku mengajakku menjauh dari rumah dan mobil. Aku sedikit
bingung dengan sikapnya hari ini.
“Aku
pasti akan datang ke acara ulang tahunmu, Vi.” Kata Seno sambil tiba-tiba dia
mengecup bibirku. Hangat saat bibirku menyentuh bibirnya. Aku hanya mampu
tercenung sesaat setelah Seno menciumku.
“Ayo,
kita pulang. Sopirmu sudah menunggu.” Ajak Seno sambil terus menggandeng
tanganku mendekati mobilku. Entah apa yang sebenarnya aku rasakan terhadap
Seno. Mungkinkah aku benar-benar jatuh cinta dengannya.
Aku terus
saja memikirkan Seno sejak hari itu. Setiap sebelum tidur, aku selalu berharap
aku akan memimpikannya. Tapi apa kata teman-temanku nanti jika tahu aku dekat
dengan Seno, orang yang selama ini aku sembunyikan dari mereka. Bagaimana kalau
Resti tahu kalau aku mencintai Seno bukanlah Rendi. Mendadak kepalaku pening
sekali memikirkan berbagai macam hal.
“Neng
Silvi, ada neng Yolanda di luar cari neng.” Kata Bi Sumi yang tiba-tiba
membuyarkan segala lamunanku.
“Iya,
Bi. Makasih.”
Yolanda
sengaja aku ajak untuk menginap di rumahku malam minggu ini. Aku merasa
kesepian. Sengaja aku hanya mengajak Yolanda, tahu sendiri hubunganku dengan
Resti akhir-akhir ini sedang memanas tentang hal yang tidak jelas. Sedangkan
Cindy, kubiarkan dia menjadi teman penenang Resti.
“Ada
apa sih beb sebenernya kok sampe aku suruh nginep segala?” tanya Yolanda
sekedar ingin tahu sambil membawa kaca bergambar hello kitty kesukaannya.
“Kan
besok acara ulang tahunku, kamu di sini buat bantu aku lah.” Sahutku asal-asalan.
“Sial,
jadi aku kesini Cuma buat jadi pembantu kamu, Vi.”
“Aissh,
kamu ini setidaknya bisa bantu-bantulah. Hahaha.”
“Kenapa
nggak ajak Resti dan Cindy, mereka masih kamu anggap sahabat kan?”
“Pastilah,
Nda. Mereka tetap sahabatku. Cuma aku butuh sedikit privasi aja. Aku lagi malas
dengan Resti, apapun yang aku lakukan pasti sampai ke telinga Rendi.” Aku mulai
membuka sesi curhat dengan Yolanda. Yolanda segera meletakan kacanya di dalam
tasnya. Kali ini dia sedang tak menggubris penampilannya.
“Aku
juga penasaran sebenarnya kamu suka nggak sih sama Rendi? Padahal banyak yang
mau sama Rendi termasuk Resti. Tapi kamu selama ini acuh sama Rendi.”
“Rendi
tipikal cowo posesif, aku nggak suka dia, Nda. Bisa mati lah aku kalau apa-apa
dilarang ini itu, sepertinya dia lebih cocok dengan Resti.”
“Kamu
tau sendiri kan, Rendi nggak suka sama Resti. Lagipula, Resti lagi deketin
salah satu teman dekat Rendi namanya Farel. Terus kamu suka siapa sebenarnya?”
“Kalau
sudah waktunya nanti aku pasti akan kasih tahu kamu, Nda.”
Yolanda
kini terdiam. Sepertinya dia sahabat yang paling mengerti dengan hatiku. Dia
sahabat yang paling memahami keinginanku di saat teman-temanku yang lain hanya
mampu menyudutkanku tanpa bertanya bagaimana perasaanku saat ini.
***
Sebelum
acara ulang tahun di mulai, aku sudah berdandan dengan rapi malam ini. Memakai
gaun berwarna merah dan wedges yang tak terlalu tinggi. Sekitar jam delapan
malam, teman-temanku sudah berkumpul di halaman rumahku yang cukup luas ini.
konsepnya memang pesta kebun sehingga mereka sudah menunggu acara di mulai di
kebun halaman rumahku. Aku senang, papa telah membuatkan pesta ulang tahunku ke
17 tahun dengan begitu sempurna.
“Mana
dia?” tanya Yolanda penasaran sambil celingak-celinguk melihat kesana kemari.
“Kamu
cari siapa sih?” tanyaku yang ikutan resah karena seseorang yang aku tunggu
belum juga datang.
“Riko,
beb. Katanya dia mau datang lima menit lagi tapi ini udah lima belas menit lho.”
“Hai,
Vi. Happy birthday ya.” Resti dan Cindy datang membawakan sebuah bingkisan kado
besar. Lalu kami pun cipika-cipiki.
“Makasih
ya.”
“Maaf,
Vi aku sama Resti telat soalnya tadi ada keributan deket rumah kamu. Nggak tau
ada apa.”
“Ya,
udah nggak papa kok. Yang penting kalian sudah sampe di sini. Kayaknya kita
mulai aja deh acaranya.”
Aku
segera memberi isyarat ke Mas Kris, dia adalah selaku MC acara party ulang
tahunku ini. Aku mulai gelisah saat seseorang yang aku tunggu belum juga
datang. Tiba-tiba seseorang datang dari balik gerbang, tapi aku kecewa karena
yang aku lihat adalah Rendi, Riko dan Anang. Lalu kemana Seno?
“Terima
kasih teman-temanku semua udah mau meluangkan waktu untuk datang ke rumahku
dalam perayaan ulang tahunku yang ke 17 tahun. Semoga malam ini kalian ikut
merasakan kebahagiaan juga.” Kataku semangat karena teman-teman sudah berkumpul
dalam keadaan sukacita.
Lalu sekarang
make a wish dan peniupan lilin lalu teman-teman bersorak sorak untuk memberikan
potongan kue kepada seseorang yang aku sayangi. Aku mencari sosok Seno tapi tak
juga terlihat, hanya wajah Rendi lah yang terlihat dengan selalu tersenyum.
“Potongan
kue ini aku akan berikan buat Papaku.” Kataku semangat sambil menyerahkan
potongan kue tart coklat. Potongan kue kedua pun aku berikan untuk ketiga
sahabatku. Dan yang pasti yang terakhir aku hanya mampu berkata potongan kue
ini untuk diriku sendiri. Teman-teman
kembali bersorak dalam kecewa karena aku tak memberikannya untuk
seseorang yang aku sayangi lebih dari teman. Setelah itu acara dilanjutkan
dengan makan-makan sepuasnya.
“Kamu
kenapa Vi?siapa yang kamu tunggu. Rendi bukannya sudah datang ya.” Kata Cindy
sambil makan sup buah. Aku seperti tertangkap basah kali ini, terlihat sedang
menunggu seseorang.
“Aku
nggak nunggu siapa-siapa kok.”
“Hai,
Vi.” Sapa Rendi dari balik kerumunan. Cindy segera meninggalkan aku berdua
dengan Rendi.
“Selamat
ulang tahun. Aku punya hadiah buat kamu. Aku harap kamu mau memakainya.” Rendi
segera memperlihatkan kalung berwarna perak dengan liontin bertuliskan Silvia.
Rendi segera memakaikan kalung itu pada leherku. Sedikit tak enak hati aku
memakainya, tapi setidaknya aku menghargai pemberiannya.
“Ciye...ciye
so sweet banget kalian.” Kata Resti tiba-tiba yang melihatku dan Rendi. Rendi
jadi salah tingkah, lalu aku pergi meninggalkan Rendi dan Resti kembali ke
dalam kerumunan teman-teman yang lain dan makan bersama mereka.
Acara berlangsung
selama dua jam. Dan akhirnya selesai juga acara ini, tapi wajahku kuyu dan
sedikit kecewa karena Seno tidak datang. Aku kecewa, dia tidak menepati
janjinya. Saat yang lain sudah pulang, tiba-tiba masih ada Rendi yang masih
tinggal di rumahku.
“Aku
mau ngomong sama kamu, Vi.” Kata Rendi dengan lirih.
“Apa?”
tanyaku sedikit sinis.
“Aku
sayang sama kamu, Vi. Aku berharap kamu juga sayang sama aku. Kamu terima aku
kan buat jadi pacar kamu.”
“Aku
baru tahu, ternyata kamu juga laki-laki dengan tingkat kepedean tinggi.”
“Jadi,
maksudmu kamu nggak mau terima aku.”
“Aku
nggak perlu jawab, kamu pasti tau jawabanku. Aku pernah bilang sebelumnya,
carilah orang yang juga sayang denganmu.” Kataku sambil berusaha meninggalkan
Rendi. Rendi lalu menarik tanganku kuat-kuat mencoba menghentikan langkahku
untuk pergi.
“Nggak
bisakah kamu mencoba melihat aku dan hatiku buat kamu?”
“Maaf,
Ren.”
Dalam sekejap
Rendi berusaha menciumku, tapi aku berhasil terlepas dari serbuannya. Sedikit memaksa
dari Rendi sehingga aku sedikit meronta dan spontan tanganku terlepas menampar
pipinya.
Plaaak...
Aku pun
berlari meninggalkan Rendi yang sudah kelewatan itu. Membiarkan malam yang
seharusnya indah ini menjadi mimpi buruk untukku. Aku menangisi malam ini.
Menangis kecewa karena Seno tidak datang.
Kamu kemana
Seno????
-bersambung
...